Jumat, 06 April 2012

PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH DALAM ISLAM :

Antara Kiat dan Strateginya 
Oleh : Muh. Nasihuddin, SHI, MA
(Kepala KUA Kecamatan Gianyar)

Pembentukan keluarga sakinah dalam Islam adalah dambaan bagi setiap pasangan yang sejak melakukan ijab qobul telah bercita-cita mewujudkan keluarga tersebut. Ada beberapa kiat dan strategi yang dapat dikembangkan dalam keluarga untuk mewujudkannya, diantaranya :

A. Rumahku adalah Surgaku
Banyak lintasan pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak kita ketika telah berkeluarga. Pertanyaan itu antara lain, “Sudah sekian lama berkeluarga, namun sampai saat ini mengapa saya susah bahagia?” Kadangkala juga bertanya, “Dimanakah kebahagiaan itu ?”. Atau mungkin memikirkan, “Mengapa kebahagiaan itu sukar hadir dalam istana yang dibina bersama pasangan ?” Atau ada juga yang bertanya, “Mengapa kebahagiaan saya kian menjauh ?”

Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut dalam benak kita ini memerlukan jawaban sebagai solusinya. Dan sebenarnya, jawaban semua persoalan itu ada dalam diri kita sendiri. Nah, yang menjadi musuh kita saat ini sehingga kita tidak mampu menjawab problem tersebut adalah pada sikap, tindakan atau praktik kita, “Apakah kita mau atau tidak untuk berbuat dan berbenah menjadi bahagia ?”

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk perubahan itu. Pertama, mulailah dengan mendefinisikan kebahagiaan rumah tangga anda sendiri. Hakikat yang mesti diterima adalah kebahagiaan orang lain tidak mesti sama dengan apa yang ingin kita bina. Lebih mudahnya, kebahagiaan kamus kita mungkin berbeda dengan kamus kebahagiaan orang lain. Merasa bahagia itu terlalu subyektif untuk diuraikan. Jadi, ciptakan kebahagiaan itu sekarang juga sebelum kebahagiaan itu hilang dari kita. Jangan kebahagiaan yang dikonsepsikan orang lain anda paksakan untuk rumah tangga anda, walau anda berhak untuk belajar dari kebahagiaan orang lain.

Kedua, ada beberapa tindakan yang dianggap remeh namun amat berkesan dalam membina hubungan berumah tangga dengan pasangan. Sebut saja misalnya mengerlipkan mata pada pasangan walau sesekali, atau memilih lagu yang bisa dinyanyikan bersama sewaktu bercengkrama atau ketika beristirahat di rumah pada akhir pekan dan hari lainnya. Atau kalau belum pernah dilakukan, boleh dicoba untuk sesekali suami menyediakan sarapan untuk istri dan anak-anaknya. Intinya, keharmonisan keluarga perlu dibangun dan dipelihara.

Tiada salahnya, mulai sekarang, mengawali setiap hari baru dengan salam dan kecupan mesra untuk pasangan dan anak-anak. Ini bukan saja membuat pasangan merasa dihargai dan disayangi, malah lebih jauh menambah lagi benih-benih cinta dan menyemarakkan kasih sayang dalam ‘istana’ yang dibina. Atau sesekali bertanya kepada pasangan kita, “Apakah yang perlu saya perbuat untuk membuat kamu merasa bahagia ?” Pernahkah kita bertanya demikian itu ?

Memang, tidak sulit sebenarnya untuk menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga kita. Jika orang lain boleh bahagia dengan cara mereka, kita juga harus punya resep sendiri untuk menciptakan bahagia di dalam ‘surga impian’ kita, “Baiti Jannati” seperti yang diidam-idamkan semua orang. Jangan sampai rumah kita tidak lebih baik dari tempat kerja kita. Rumah tangga banyak bermasalah karena sudah tidak berfungsi seperti oase dalam kehidupan ini. Setelah seharian bekerja, kita membutuhkan tempat beristirahat dan rasulullah telah menegaskan bahwa “Rumahku adalah surga bagiku.”

Kata al-jannah berasal dari akar kata al-janana yang berarti terlindungi. Disebut jannah karena terdapat gundukan-gundukan tanah yang tertutupi oleh taman-taman yang indah sehingga sejuk dipandang. Jadi, definisi sebuah rumah adalah tempat untuk memperoleh sesuatu yang nyaman, kepuasan batin, tempat untuk istirahat, tempat untuk berbagi rasa serta tempat untuk saling mencintai dan dicintai.

Ketika fungsi rumah sudah tidak seperti itu maka kita sudah mulai menjadi manusia yang tidak menyejukkan alias gersang dan sangat berpotensi menjadi orang yang frustasi. Sudah saatnya kita mengingatkan dan menyadarkan diri bahwa ada hal-hal kecil yang perlu dan harus dilakukan dalam sebuah keluarga untuk membangun jannah dan itu merupakan bagian dari “jihad” kita.

Bagaimana caranya kita memulai mewujudkan baiti jannati ? Awali dengan memahami posisi dan peran masing-masing anggota keluarga. Jadikanlah ayah laksana Matahari, ibu adalah rembulan dan anak-anak kita ibarat bintang keluarga.

Ayah adalah suami dari istri dan bapak dari anak-anak. Dia adalah matahari keluarga, sumber dari kehidupan sebuah keluarga. Ayah yang mendambakan anak-istrinya selalu setia menemaninya di dalam kebenaran dan sabar serta penuh kesabaran menasehati dirinya tatkala tergelincir di dalam kekeliruan. Ayah yang senantiasa mendahulukan pemenuhan kewajiban sebelum menuntut haknya ditaati anak-istri. Ayah yang meyakini bahwa dirinya adalah qawwam, pihak pertama dan utama yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah SWT akan taqwa tidaknya keluarga di bawah kepemimpinannya.

Ibu adalah istri dari suami dan ibu bagi anak-anak. Ia ibarat rembulan yang menerangi, mengayomi, menjaga dan memberi keteduhan terhadap segenap anggota keluarga. Ibu adalah simbol kasih sayang dan pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Meminjam bait nasyid Az-Zikr, istri bagi suami laksana tongkat bagi si buta, penyejuk mata, penawar hati, penajam pikiran. Di rumah dia istri, di jalanan kawan, di waktu buntu dia penunjuk jalan. Karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi derajatnya dan menempatkan surga di bawah telapak kakinya. Seseorang yang menghormati ibunya akan ditempatkan di surga dan orang yang mendurhakainya akan ditempatkan pada posisi yang hina.

Sedang anak adalah bintang keluarga, bintang-bintang zaman, mereka adalah laki-laki dan perempuan kehidupan (ibnuz zaman). Anak adalah investasi bagi orangtuanya sepanjang masa, serius dalam pendidikannya agar menjadi anak shaleh dan ‘saham’ orangtua di masa mendatang. Tenaga yang sepatutnya dicurahkan untuk mendidik dan mempersiapkan masa depan anak bukanlah tenaga sia-sia dan bukan pula tenaga sisa-sisa. Jangan sampai kepedulian orangtua terhadap pendidikan dan persiapan masa depan hanya dengan menggunakan waktu dan tenaga sisa yang dimiliki: sisa dari kantor, sisa dari acara arisan dan sisa-sisa lainnya. Bayangkan apa yang akan kita dapat dari investasi yang serba sisa ?

Memang membina keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, konsep Baiti Jannati merupakan idaman semua orang. Berubahlah sedikit demi sedikit dan yang paling utama selalulah berdoa kepada Allah SWT untuk keluarga, minimal untuk pasangan dan anak-anak. Mohonlah untuk kekalnya keharmonisan dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Allah SWT telah berjanji untuk memperkenankan doa-doa hamba-Nya bagi mereka yang memang mau untuk berdoa. Rabbana Hablana Min Azwajina Wa Dzurriyatina Qurrata A’yun Waja’alana Lil Muttaqina Imaman. Semoga Allah menjadikan pasangan dan buah hati kita menjadi generasi yang menyejukkan dan menjadikkannya pemimpin yang bertaqwa.

B. Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu

Seorang anak mencoba mengangkat dan mengamati kaki ibunya sembari bertanya, “Mama..dimana surganya? Kok ndak kelihatan.” Pertanyaan polos yang kontan membuat sang ibu tersenyum itu boleh jadi juga  menghinggapi benak pikiran kita ketika memahami salah satu hadits yang populer didengungkan mayoritas umat Islam tentang kemuliaan seorang ibu adalah al-jannatu tahta aqdamil ummahat, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.”

Ungkapan metaforis hadits tersebut menarik untuk dicermati, seakan menyiratkan betapa dekatnya jarak kita dengan surga. Ia bukanlah tempat mewah yang jauh dari jangkauan angan-angan; ia bukanlah lokasi yang membutuhkan “biaya” mahal untuk mencapainya. Surga berada di bawah kaki ibu, artinya kunci masuk surga adalah berbuat baik dan berbakti kepada seorang perempuan bernama ibu; password dan PIN surga ada di sekeliling kita; sumber kebaikan untuk meraih surga ternyata ada di dalam rumah dan keluarga sendiri.

Namun tidak semua muslim menyadari ajaran yang tersirat dari sabda tersebut. Banyak orang kini berbondong-bondong mencari surga justru dengan cara meninggalkan rumah dan bahkan tanpa sepengetahuan keluarga. Sebagian umat terkadang ikut pula tergiur akan impian indah tentang surga. Surga ibarat obat ampuh untuk menawarkan rasa perih dan penderitaan yang mereka tanggung. Kebodohan dan keterbelakangan membuat mereka frustasi dalam menjalani hidup dan satu-satunya harapan adalah hidup bahagia di kemudian hari.

Seluruh amal perbuatan mereka selalu ditujukan untuk mendapat surga. Mereka seakan berebut kavling surga karena pilihan setelah mati hanya dua : surga atau neraka. Demi berebut surga, tak jarang mereka justru bertengkar, berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan pembuat bid’ah. Doktrin itu pula yang melumpuhkan etika dan moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa bahwa ajaran Islam sangat menekankan pentingnya amal shalih dan kebajikan kepada sesama, dan kebaikan itu dapat diciptakan dalam keluarga sendiri.

Karena itu, tak heran kalau kalangan sufi sampai mengkritik prilaku masyarakat untuk “berebut surga”. Seorang sufi perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah sampai mengungkapkan kegundahannya, “Aku akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan neraka agar keduanya tidak menjadi alasan orang untuk berbakti kepada-Nya.” Sudah saatnya kita gali dan nikmati surga di dalam keluarga kita, sudah waktunya kita ciptakan surga-surga bersama suami, istri dan anak-anak di dalam rumah sendiri.

Selain meniatkan menikah dan berkeluarga sebagai sebuah media ibadah kepada Allah (kebajikan vertikal), keluarga juga dapat dijadikan sumber kebaikan bagi seluruh anggotanya. Kebajikan horisontal itu dapat dimunculkan oleh suami kepada istri, komunikasi istri kepada suami dan antara orangtua terhadap anaknya.

Alangkah indahnya jikalau suami bekerja dilepas dengan senyuman serta pelukan hangat dan pulangnya disambut dengan tangan mesra sang istri. Begitupula tatkala istri tampak begitu pulas tertidur setelah seharian mengurus rumah, sang suami dengan lembut mengusap dan membelai rambut istri sembari terucap do’a, “Ya Allah, limpahkan keberkahan dan kenikmatan bagi istriku yang telah membahagiakanku.” Sedang saat kebersamaan dihiasi dengan semangat romantisme, dialog-dialog “dua arah” yang saling menyemangati dan memberi solusi atas pelbagai problem yang sedang dihadapi masing-masing pihak.

Ya...bersungguh-sungguhlah menjadi “sebab” bagi kebahagian pasangan anda dan hal itu akan dapat terwujud bila anda mampu mengembangkan sifat ikhlas dan ridlo dalam komunikasi suami dan istri. Suami dengan ikhlas melakukan apapun (baca : bekerja) untuk membahagiakan keluarga dan istri dengan ridlo menerima apapun yang dihasilkan oleh suami. Begitu pula sebaliknya, suami juga tidak akan menggerutu menikmati apa yang disajikan istri dengan susah payah walau boleh jadi hal itu bertentangan dengan apa yang diinginkannya.

Bagaimana mewujudkan kebaikan antara orangtua dengan anaknya ? Jadilah orangtua yang dicintai anak-anaknya dan bantulah atau permudahlah mereka untuk berbakti kepada Allah dan kedua orangtuanya.

Suatu hari, seseorang menghadap Khalifah Umar bin Khattab dengan membawa anak lelakinya. Ia mengadukan betapa durhaka dan kurang ajar anaknya. Khalifah mendengarkan pengaduan orangtua tersebut. Beliau tidak serta merta menyalahkan si anak tersebut tetapi malah mengingatkan kepada orangtuanya akan hak anak seperti memilihkan ibu si anak dari golongan baik-baik, memberi nama yang baik, memberi nafkah sepantasnya, mendidik dengan akhlak yang baik dan mengajari ilmu untuk bekal hidupnya.

Seketika itu juga si anak menyahut uraian Umar. “Tak satupun dari hak-hak itu yang diberikan. Ibu saya tidak jelas asal-usulnya dan berperangai sangat buruk. Dari kecil saya dipaksa mencari nafkah dengan menggembala ternak dan saban hari diberi contoh akhlak yang buruk, dengan pertengkaran yang tiada henti, perkataan yang kotor dan tindak kekerasan. Jangankan diajari ilmu, yang ada hanya dampratan dan perlakuan kasar. Dalam hatiku hanya ada dendam dan menunggu saat bisa membalasnya.” kata si anak.

“Apa benar demikian ?” tanya Umar. “Jika demikian, sungguh engkau telah merusak anakmu dengan tanganmu sendiri. Engkaulah yang pantas mendapat hukuman atas kesalahan ini.” tambahnya.

Dari deskripsi kisah tersebut secara tegas mengajarkan bahwa anak adalah cermin orangtuanya. Karenanya, jika kita menginginkan anak menjadi shalih/ah dan berbakti bagi agama dan orangtua maka bersihkanlah terlebih dahulu cerminnya dengan mengajarkan hal-hal yang terpuji. Jangan sampai anak justru menjadi “merdeka” bila orangtuanya pergi, merasa bangga kalau orangtuanya tiada. Justru ciptakanlah orangtua yang selalu dicintai dan dirindukan anak-anaknya.

“Berbuat baiklah kamu terhadap ibu dan bapakmu, niscaya anak-anakmu akan berbuat baik terhadapmu.” (HR Thabrani). “Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR Bukhari Muslim)

C. Yuk … Berdakwah kepada Tetangga !

Kita begitu merindukan masyarakat imani, masyarakat yang membuat setiap orang selalu ingin berada di tengah mereka. Hanya ini masyarakat yang membuat anak manusia merasa aman dari lisan dan tangan mereka. Alangkah tenteram berada di tengah mereka. Masyarakat ini adalah masyarakat surgawi dan tetangga-tetangga ini kita doakan menjadi tetangga kita kelak di surga nanti.

Inilah masyarakat yang setiap hari menyambung silaturrahmi di dalam rumah Allah melalui jamaah shalat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling bersentuh, barisannya lurus dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Allah. Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir dan gotong royongnya jihad fi sabilillah.

Memang sulit mencari, tetapi alangkah indahnya memulai dari diri sendiri dan itu merupakan bagian dari dakwah ilallah. Dimanapun bumi tempat berpijak, kata Umar ibn al-Khattab, wujud keislaman tersebut adalah kewajibanmu. Maka adakah di dalam visi dan misi pernikahan kita terselip sebuah kata serta konsep dakwah, baik terhadap intern keluarga maupun dengan sesama masyarakat atau tetangga ?

Ya, dakwah intern keluarga dapat dimulai dengan memahami bahwa keluarga merupakan ladang kebaikan bagi penghuninya (baiti jannati) karena surga memang berada di bawah telapak kaki ibu. Potensi menciptakan kebaikan sangat dekat dengan kita sehingga seyogyanya kita tidak perlu dipusingkan untuk mencari kebaikan justru dengan meninggalkan keluarga kita. Memberikan salam dan kecupan seorang suami kepada istrinya, senyum manis sang istri untuk menyambut suaminya pulang kerja dan kerja bakti orangtua memudahkan anak untuk berbakti adalah hal indah yang dapat diwujudkan hanya di dalam rumah sendiri.

Bagaimana dengan masyarakat, khususnya tetangga ? Jawabannya mudah, ikuti tauladan bermasyarakat yang telah dicontohkan rasulullah Muhammad SAW. Ada sebuah kisah menarik dari seorang dosen yang mendapat tugas belajar di Jepang. Beliau mampu mengislamkan beberapa keluarga disana. Bagaimana bisa ? Awalnya adalah saat sang tetangga pergi berlibur. Nah sang tetangga ini berlangganan koran yang diantar tiap pagi. Karena tak ada yang di rumah, dosen tersebut membawa koran itu ke rumahnya. Begitu tiap hari sampai sepuluh hari lamanya. Ketika sang tetangga pulang, dia menyerahkan seluruh koran yang dikumpulkannya tersebut.

Sang tetangga heran, kok sepeduli itu dan apa alasannya ? ”Kalau ada koran menumpuk di depan rumah, orang akan tahu bahwa rumah ini kosong. Khawatirnya, ada yang punya maksud tidak baik.” jelasnya singkat. Luar biasa .... Belum lagi cara sederhananya untuk ’hanya’ berbagi kuah makanan atau bahkan sepotong roti dengan tetangga dan berbagi udara untuk sekedar lewat diantara rumah kita dengan rumah di sekeliling kita.

Kita dapat melihat sebuah interaksi bertetangga yang dapat dijadikan sebuah media dakwah yang mendatangkan keridhaan Allah dan benefit bagi agama. Banyak kebaikan yang dapat diisi dalam indahnya bertetangga dan beberapa cara untuk mewujudkannya adalah: pertama, pandanglah bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis. Ia dapat belajar dari kesalahan dan memperbaikinya di waktu-waktu yang akan datang. Adalah ketidakadilan menilai manusia hanya berdasar jejak rekam masa lalu. Semua manusia bisa tersalah, sehingga ada peluang keindahan dengan memaafkan. Ada penerimaan yang imbal baliknya adalah proses perbaikan.

Kedua, bebaskan diri dari prasangka. Segala hal yang ’terlalu’ tidaklah menampakkan kebaikan yang utuh. Prasangka yang terlalu baik membuat kita terjebak pada sifat lalai, ghurur (tertipu) dan terseret untuk bersikap tidak adil. Sebaliknya prasangka yang buruk akan membinasakan, menjadi self fulfilling prophecy. Bukankah Jibril pernah berpesan kepada Muhammad dan meneruskan ajaran itu kepada kita, ”Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya karena boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling kamu cintai.” (HR. Bukhari).

Ketiga, nilailah apa adanya dan beranilah mengambil sikap yang tepat. Nilailah serta bersikaplah objektif dan apa adanya sesuai interaksi kita dengan mereka. Bersikaplah sebaik-baiknya dan katakanlah tidak tahu jika kita memang belum memahami. Dengan pemahaman tersebut, kita akan dapat bersikap dengan tepat untuk mengenal tetangga . Dalam konsep yang dibawakan Khalifah Umar, mengenal seseorang berarti pernah bermalam bersamanya, melakukan mu’amalah atau melakukan suatu perjalanan bersama.

Keempat, kosongkan diri dari tujuan kotor. Allah menciptakan manusia untuk saling mengenal. Tujuan suci itu baru akan terwujud bila hati kita juga suci atau bersih dari tujuan atau pikiran kotor. Maka janganlah ada tujuan-tujuan kotor dalam bertetangga : memanfaatkan, menyakiti atau merusak. Ingatlah bahwa ma’shiat kepada tetangga akan dilipatgandakan keburukannya oleh Allah. Imam Bukhari pernah meriwayatkan bahwa berzinanya seseorang dengan sepuluh wanita lebih ringan dosanya daripada jika ia berzina dengan istri tetangganya dan mencuri di sepuluh rumah lebih ringan dosanya daripada pencurian yang ia lakukan di rumah tetangga.

Dan kelima, berpegan pada standar ilahiyah dan kalimat tauhid. Laa ilaaha, divisualisasikan dengan mengosongkan diri dari standar-standar pribadi dan standar artifisial lainnya, kemudian illallah membuat kita menetapkan diri pada standar ilahi. Seseorang diukur bukan dengan hartanya, keturunannya, kedudukan, atau jabatannya, melainkan dengan ketaatannya menjalankan perintah-Nya. Bukankah yang termulia di sisi Allah diantara kita adalah yang paling bertaqwa ?

D. Muliakanlah Pasanganmu !

Mengapa banyak orang yang setelah menjalani hidup berumah tangga justru merasa “marah” pada pasangannya ? Bukankah kemantapan bersama untuk menempuh bahtera rumah tangga senantiasa didasari keinginan bahagia ? Dan bagaimana mengatasinya ?

Sahabat nabi yang juga khulafaur rasyidin, Umar bin Khattab radliyallahu anhu pernah berpesan ketika ditanya oleh seorang Arab Badui, mengapa ia diam saja ketika istrinya marah dan berteriak padanya. “Wahai saudaraku semuslim, aku berusaha menahan diri dari sikapnya itu karena ia memiliki hak-hak atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski aku bisa saja menyakitinya dan memarahinya. Akan tetapi aku sadar bahwa tidak ada yang dapat membantu kaum wanita selain orang yang mulia; dan tidak ada orang yang merendahkan mereka selain orang yang suka menyakitinya. Mereka (kaum wanita) dapat mengalahkan orang mulia tetapi mereka dapat dikalahkan oleh orang yang suka menyakiti. Namun aku sangat ingin menjadi orang yang mulia meski aku harus kalah dan aku tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku kelak termasuk orang yang menang.”

Apa hikmah yang dapat dipetik ? Hal yang terpenting dari perkawinan adalah bagaimana caranya menciptakan kasih sayang, bukan semata menetapkan daftar hak dan kewajiban. Tentu tidak ada suami atau istri yang ingin merasa dikalahkan, merasa direndahkan, bila kita sama-sama berkomitmen menjunjung kasih sayang. Amarah bukanlah solusi terbaik dari dinamika rumah tangga dan kasih sayang dengan menahan amarahlah yang menyebabkan kemuliaan seorang pasangan, meskipun harus mengalah. Memuliakan pasangan kita agar tidak terluka sekaligus adalah upaya memuliakan diri sendiri karena menghindarkan diri dari tipu daya setan lewat amarah.

Proses untuk menjadi pribadi yang mulia tentu adalah perjalanan yang butuh perjuangan. Proses ini membutuhkan kematangan pribadi seseorang sekaligus mampu mempercepat kematangan pribadi. Karena dengan mengikatkan diri dalam perkawinan berarti seseorang telah siap untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang suami, sebagai isteri, dan kemudian peran sebagai orangtua dari anak-anak yang terlahir. Penambahan peran dari peran-peran sebelumnya ketika kita belum berkeluarga ini juga berarti satu hal : kemampuan dan kemauan kita untuk berubah. Berusaha untuk saling memahami perubahan itu akan menjadikan pasangan seiya-sekata dalam menghadapi beratnya kenyataan hidup. Kini mereka bukan lagi seorang manusia melainkan sepasang manusia. Cobalah membuka hati untuk menyadari bahwa apa yang kita lakukan kini berdampak bagi orang lain, terutama pasangan kita.

Dengan demikian, kita akan berusaha mengelola ego dan berusaha untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Namun hal ini bukan berarti harus selalu menempatkan diri kita pada posisi yang kalah.  Dalam bahasa kiasan, bukan kurang cantik dan tampannya pasangan hidup yang membahagiakan kita, tetapi kurang cantiknya upaya kita untuk saling mencintai. Bernegosiasilah dengan pasangan dan pada keadaan sehingga kita dapat merasakan apa yang dirasakan olehnya tanpa mengesampingkan apa yang membuat kita bahagia.

Berbicaralah dari hati ke hati, mencoba menempatkan diri pada posisinya tentu akan membuat perasaan tenteram itu semakin meliputi hati. Kehadiran kita pada pasangan yang penuh kemuliaan dan kasih sayang-lah, yang menjadikan Anda pribadi yang kehadirannya senantiasa dirindukan dan dimuliakan pasangan kita. Ingatlah, bahwa cinta adalah pengutuh kehadiran. Jadilah pribadi yang mencintai karena apapun akan menjadi indah dalam pandangan orang yang mencintai, seperti apapun menjadi merdu dalam pendengaran yang mengasihi. Dan apapun menjadi lembut dalam sentuhan yang pengasih, seperti apapun terasa nikmat bagi hati yang penyayang.

“Maa akraman nisa’ illa kariim wa maa ahaanahunna illa la’im.” (al-hadits) Kita baru akan menjadi suami yang mulia kalau kita mampu memuliakan istri kita dan kita hanya akan menjadi suami yang terhina kalau kita hanya mampu menghina pasangan kita. Karena itu, muliakanlah pasanganmu !

E. Bila Pasangan Tak Seperti Dulu Lagi

Semua manusia dapat berubah setiap saat. Sayang, banyak orang yang tidak siap dengan perubahan yang terjadi pada pasangannya; seringkali lupa bahwa ketika pertama kali menapaki lembaran-lembaran kehidupan baru tersebut, kita juga telah memasuki sebuah wilayah asing yang belum pernah kita jamah.

Dalam konteks keluarga, terkadang kita melihat pendamping kita tak seperti yang dikenal saat awal-awal pernikahan. “Dia sudah banyak berubah,” begitu yang seringkali terlontar dari gumaman hati. Sang istri merasa bahwa suami yang dulu penuh dengan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, kini menjadi manusia super sibuk dengan setumpuk pekerjaan kantor yang kerap dibawa pulang. Di lain pihak sang suami juga berprasangka bahwa istri yang dulu selalu penuh perhatian, kini tak punya waktu yang cukup untuk sekedar membuatkan makanan kesukaannya karena sibuk mengurus si kecil.

Akhirnya ruang yang menjeda diantara pasangan semakin lebar. Rumah tak lagi menjadi tempat yang didambakan untuk bertemu dengan orang-orang yang menjadi sumber kebahagiaan, baiti jannati. Semua sibuk dengan gumaman di dasar hati serta merindukan suasana yang dulu pernah ada untuk kembali dalam kehidupan mereka. Bilakah semua ini berakhir ?

Layaknya hari yang senantiasa berganti antara siang dan malam, inilah kehidupan yang segala sesuatunya pasti akan berubah. Bila suami dulu senantiasa siap selalu berada di sisi sang istri, mungkin karena ia belum memegang posisi sentral di tempat tugasnya, maklumlah pegawai baru yang fresh graduate. Kini ia berubah dengan setumpuk job deskripsi yang mungkin sebelumnya tak pernah diungkapkan; berawal dari rasa tanggung jawabnya menghidupi istri dan anak hingga ia tak lagi punya banyak waktu menemani dan membantu istri di rumah.

Begitu pula dengan bundanya anak-anak. Ketika buah hati belum hadir maka ia senantiasa  punya waktu untuk memperhatikan secara detil keperluan dan hobi sang suami. Namun kini dengan tangisan buah hati yang tiada henti, perhatiannya lebih terfokus pada buah cinta mereka. Semua yang dilakukannya semata untuk membuat istirahat suami tercinta tidak terganggu akibat jeritan sang buah hati.

Ya, berta’aruflah sejenak, mencoba berkenalan dengan tugas dan tanggung jawab barunya yang tengah diemban. Cobalah meninggalkan wilayah aman yang kita huni saat awal pernikahan ini dan berkenalan kembali dengan sosok yang menemani kita selama ini. Pasti ada sesuatu baru yang membuat kita semakin mencintainya; pasti ada kejutan baru lainnya yang selama ini terlewatkan begitu saja karena kita terlalu sibuk dengan pikiran kita sendiri. Dan proses ta’aruf itu senantiasa tak akan pernah berhenti, tak akan pernah mengenal kata selesai selama kita masih bernafas.

Memang, pernikahan sepasang insan manusia ibarat mengayuh perahu kecil di tengah samudera raya. Antarpasangan harus menjaga agar perahu kecil tersebut tidak terseret riak ombak atau tenggelam diterjang gelombang. Karenanya, berdamailah dengan suasana yang kini sedang hadir di hadapan dan melingkupi kehidupan kita agar kita tidak semakin tenggelam karena dinamika ombak dan gelombang tersebut. Kita tidak selalu berkuasa untuk menghadapi dan merubah sesuatu sesuai dengan yang kita inginkan. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] : 216, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimua. Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Jadi, mulailah senantiasa berkenalan dengan apapun yang hadir dalam kehidupan kita, setiap saat, setiap waktu; senantiasa membuka hati untuk menerima perubahan dan sesuatu yang baru. Bila kita menolak untuk senantiasa berkenalan, sementara perubahan niscaya selalu terjadi kemudian kita diam saja, maka kita akan tergilas olehnya. Pahamilah pasangan kita, buah hati kita, orang-orang tercinta yang ada di sekeliling kita dengan keadaannya sekarang.

Kembangkanlah manajemen husnudzan dalam mengolah perasaan kita dalam menghadapi dinamika kehidupan yang sedang kita dan pasangan jalani. Tentu raga akan selalu lelah bila bersemayam dalam jiwa kita prasangka-prasangka tidak baik terhadap perubahan yang terjadi pada pendamping kita. Bukankah mereka kita pilih sebagai teman hidup karena menganggap bahwa dialah orang yang tepat untuk mengikatkan jiwa dan raga kita, secara konsisten saling menghidupi jiwa antarpasangan dan menjiwai kehidupan perkawinan.

Kita sangat sadar kalau kita tidak mampu membuat sesuatu yang ada di atas muka bumi ini tetap dalam keadaannya dari awal hingga ujung waktu. Segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berubah karenanya bersifat fana. Yang kekal hanyalah pemilik dunia ini, tempat dimana seharusnya kita melabuhkan diri manakala perubahan mungkin akan mengusik dan membuat resah hidup. Memegang teguh prinsip dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya tujuan kita dalam menjalani setiap liku kehidupan akan membawa kita pada sebuah keikhlasan untuk menerima apapun kenyataan yang telah, sedang dan akan terjadi.

Teruslah berta’aruflah dan selalulah berhusnudzan, berpikiran positif, karena itu akan menyehatkan rumah tangga beserta seluruh anggotanya.

F. “Ungkapkanlah Cinta lewat Kata !”

Menjadikan pasangan sebagai tempat yang paling tepat untuk berbagi memang gampang-gampang susah, terutama bagi pasangan yang memiliki dunia berbeda. Tak semua yang kita sampaikan atau ungkapkan dapat diterima dengan baik oleh pasangan.

Sang suami yang sibuk di kantor sedangkan sang istri sibuk mengurus anak dan setumpuk pekerjaan rumah terkadang membuat masing-masing merasa bahwa dirinyalah satu-satunya yang harus dimengerti. Tak heran yang muncul kemudian adalah ungkapan kekecewaan, “Ngomong sama kamu nggak nyambung !” Benarkah pasangan kita sudah benar-benar tidak nyambung, atau jangan-jangan kita belum bekerja lebih keras untuk menyambungkan apa yang ada dalam pikiran kita dengan pikiran pasangan?

Dalam komunikasi ada dua jenis pesan yang dapat ditangkap, yakni pesan tersurat dan pesan tersirat. Pesan tersurat adalah pesan pesan yang ditangkap dengan jelas dalam sebuat kalimat tanpa embel-embel peristiwa yang mengikuti anggapan kalimat tersebut. Sedangkan pesan tersirat biasanya ditangkap dengan diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi kalimat yang dinyatakan.

Yang sering menjadi problem, kaum adam biasanya lebih senang menggunakan pesan tersurat, sedang kaum hawa lebih sering menggunakan pesan tersirat. Misalkan sang istri meminta suaminya membantu mencuci pakaian. Sang suami yang kala itu kelelahan karena pulang kerja larut malam pasti akan menolak dengan alasan masih capek atau mengantuk. Istri yang mendapat penolakan itu pasti tersinggung, apalagi bila sang istri turut bekerja di luar rumah. Yang seketika muncul dalam benak istri adalah betapa egoisnya sang suami, karena ia bisa tidur seenaknya, sementara istri mendapat beban kerja dua kali lipat. Apalagi bila teringat bahwa sebelumnya pun sang suami lebih sering menolak dan meneruskan tidurnya.

Inilah penggunaan pesan tersurat dan tersirat dalam rumah tangga yang boleh jadi memunculkan permasalahan yang menjadi-jadi.Sang suami menggunakan pesan tersurat karena memang pada kenyataannya ia masih lelah, sedangkan istri menangkap dengan mekanisme pesan tersirat bahwa memang suaminya tidak mau membantu pekerjaan rumah tangga.

Ada Cinta dalam Kata

Cinta selalu membutuhkan kata. Ketika cinta terkembang dalam jiwa maka tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan tak terbendung untuk menyatakannya dalam kata. Ada surat cinta, ada cerita cinta, ada pula puisi cinta serta ada lagi lagu cinta yang kesemuanya itu adalah untaian kata-kata. Sebatas sorot mata takkan mampu mengungkapkan semuanya karena mata hanya sanggup menyampaikan pesan bahwa ada badai di lautan jiwa. Lalu bagaimana mengikhtiyarkan cinta lewat kata ?

Boleh jadi anda memang bukan pujangga, tetapi kita harus melatih diri untuk pandai merangkai kata. Cara berpikir maskulin yang mengatakan bahwa kata-kata tidak penting dan yang penting adalah bukti bahwa kita mencintai, hanya tepat dipakai dalam persahabatan dunia lelaki. Wanita membutuhkan kata dan ia ingin mendengar bahwa anda benar-benar mencintainya. Kata-kata ‘gombal’ diperlukan untuk membina sebuah keakraban yang barakah. Bahka ‘dusta’ yang menguatkan ikatan, menghargai dan memberi motivasi juga sangat diharapkan. Dustanya bisa berupa kalimat romantis menyanjung penampilan; dustanya adalah pujian untuk masakan yang keasinan; dustanya bisa berwujud ekspresi manja atau kata-kata I Miss You padahal baru berpisah satu jam yang lalu.

Ikhtiyarkanlah cinta dengan kata-kata. Buatlah ia terbelalak dengan tempelan-tempelan kertas merah jambu berbentuk hati di tiap sudut rumah. Tulis untuk meja riasnya, “Aku mencintaimu karena kamu cantik.” Tulis untuk lemarinya, “Aku mencintaimu karena kamu rapi.” Tulis untuk pintu mushalla, “Aku mencintaimu karena kamu shalihah.” Tulis untuk dapurnya, “Aku mencintaimu karena kamu lezat.” Tulis untuk ranjangnya, “Aku mencintaimu karena kamu ....”

Melihat Sisi Berbeda

Ungkapan cinta kita lewat kata-kata boleh jadi akan meluluhlantahkan perbedaan penggunaan pesan antara kita dengan pasangan. Ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk mencoba cara yang lebih baik berbicara dengan belahan jiwa kita. Dengan hal tersebut, mungkin Allah SWT mengaruniakannya kepada kita dengan maksud memberikan kemampuan yang lebih: kemampuan memahami pasangan yang lebih baik, lebih untuk berempati, lebih untuk lebih menyambungkan pikiran kita dengan orang lain. Menyapa pasangan dengan sebait puisi akan dirasa lebih menggerakan hatinya dibanding menyapanya dengan sejumlah keluhan tentang sikapnya.

Pandangan keliru andaikata kita menganggap bahwa jika pasangan kita mencintai kita maka ia akan bereaksi dan bertingkah laku tertentu sebagaimana  kita bereaksi dan bertingkah laku. Bahayanya lagi, terkadang kekurangpahaman ini menjatuhkan vonis kepada pasangan bahwa ia banyak kekurangan. Kita yang kurang paham, dia yang selalu tersalahkan; kacamata kita yang buram, orang lain yang kita anggap kusut; Buruk muka nggak pernah ngaca, dan begitu terus hingga salah paham itu semakin seru. Naudzu billaahi min dzaalik.

Karena itu, pastikan terlebih dulu bahwa kita adalah anugerah terbaik untuk pasangan kita dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, kita tak hanya tersambung dengan hatinya tetapi juga tersambung dengan Sang Pemilik Cinta yang akan menyambungkan kita dengan berkah-Nya yang bertambah-tambah. Inna ma’al ‘usri yusra, fainna ma’al ‘usri yusra (sungguh setelah kesukaran akan datang kemudahan. Maka yakinlah setelah kesusahan akan datang kemudahan).

G. Memahami Hak dan Kewajiban

Al-Qur’an menegaskan perkawinan sebagai satu-satunya prosedur yang ditempuh pria dan wanita untuk membentuk keluarga dengan menjadi suami dan isteri ( QS. 4 : 24). Ketentuan ini berarti menghapus kebiasaan Arab jahiliyah yang membolehkan prosedur pewarisan wanita (QS. 4 : 19) dan prosedur kumpul kebo  yang dikenal dengan istilah ittikhadz akhdan (QS. 4 : 25).

Selain itu, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk mendapatkan ketentraman, cinta dan kasih sayang (QS. 30 : 21) serta menjaga kehormatan diri (QS. 4 : 24 dan 5 : 5), yaitu kehormatan seluruh anggota keluarga secara keseluruhan bukan personal. Karena itu, nikah mut’ah dan nikah “di bawah tangan” dinilai tidak dapat mencapai tujuan perkawinan tersebut. Hal ini karena istri yang dipersunting dan anak-anak yang dilahirkan dipandang sebagai pihak yang memiliki cacat hukum sehingga tidak memiliki hak-hak sebagaimana layaknya istri dan anak yang sah.

Disamping menegaskan beberapa hak bagi istri yang harus dipenuhi suami (seperti nafkah dan muasyarah bil ma’ruf), Islam mengajarkan hak dan kewajiban suami-istri dengan mengemukakan rumusan adil dan universal (QS. 2 : 228). Sebagai tolak ukurnya, menurut Muhammad Abduh, ada empat kriteria yang dapat dijadikan pedoman yaitu kodrat alamiah, agama, kebiasaan dan kepribadian luhur.

Berdasarkan kriteria itu, hak dan kewajiban istri di daerah, waktu dan kelas sosial tertentu boleh jadi berbeda dengan  hak dan kewajiban istri pada derah, waktu dan kelas social lainnya karena adanya perbedaan kebiasaan mereka. Dalm hal ini, yang perlu diperhatikan adalah  bahwa kebiasaan yang boleh menjadi criteria adalah kebiasaan yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Rumusan hak dan kewajiban yang disajikan al-Qur’an itu sangat jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ulama abad pertengahan. Pada umumnya mereka menyatakan bahwa istri tidak wajib menyusui bayinya, memasak, mencuci dan melakukan urusan-urusan rumah tangga yang lain. Kewajibannya hanya satu, yaitu siap melayani suami secara all-out every time, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan syara’. Rumusan mereka itu lebih cenderung memiliki orientasi teologis dan cultural tertentu. Kata “harts”(QS. 2 : 223) dipahami sebagai Ladang yang dapat didatangi sesuai dengan keinginan suami. Bahkan dalam hadits, rasulullah bersabda, “Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan istrinya menolak kemudian suaminya marah maka para malaikat melaknat istri itu sampai pagi.” (muttafaq alaih).

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir, sahabat nabi, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan adanya kepercayaan  di kalangan kaum Yahudi bahwa menyebadani istri dari arah belakang itu akan menyebabkan anak yang dilahirkannya menjadi juling. Kepercayaan itu diikuti penduduk Madinah yang kemudian masuk Islam. Ketika kaum Muhajirin melakukan persebadanan dengan posisi seperti itu, maka para sahabat menanyakan kepada Nabi dan sebagai jawabannya adalah turunnya ayat tersebut. Jadi ayat itu diturunkan untuk membantah mitos itu, tidak untuk melegalkan eksploitasi seksual terhadap istri.

Istilah Ladang yang digunakan untuk menyebut istri sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkannya, sebaliknya malah untuk menghargainya. Ladang subur di jazirah Arab yang tandus merupakan kekayaan yang sangat berharga. Dengan demikian, ayat itu menyiratkan pengertian bahwa istri adalah “kekayaan” yang sangat berharga yang harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang, sopan dan baik serta tidak semena-mena. Hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dalam ayat lain yang menyebutkan suami dan istri itu masing-masing menjadi pakaian bagi yang lain (QS. 2 : 187).

Adapun hadis itu kemungkinan berkaitan dengan budaya pantang ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Ghilah adalah menyebadani istri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka memandang ghilah sebagai hal yang tabu sehingga sampai-sampai Nabi hendak melarangnya. Beliau baru mengurungkan niatnya setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan bangsa Persia dan Romawi ternyata tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka (HR Muslim dari Judzamah binti Wahab).

Disamping itu juga ada kemungkinan bahwa hadis itu berkaitan dengan penolakan istri untuk “melayani” suami yang bisa mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan untuk menjaga kesucian diri seperti yang telah disebut dalam QS. 4 : 24 dan QS. 5 : 5. Dengan demikian Nabi menyabdakan itu agar suami dan istri dapat saling memahami dan menolonmg dalam kebajikan dan ketakwaan.

Sedangkanm pandangan ulama yang tidak mewajibkan istri untuk menyusui anak yang dilahirkannya, kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh tradisi Arab, khususnya suku Quraisy yang tidak menyusukan bayinya kepada ibunya sendiri, melainkan kepada ibu asuhnya yang biasanya dicari di daerah pedalaman. Bahkan Muhammad kecil juga sejak usia 3 hari telah disusukan kepada Halimah dari Bani Khuza’ah. Jika demikian dalam masyarakat lain yang tidak mengenal budaya itu, termasuk Indonesia, ibu-ibu dapat dibebani kewajiban menyusui anak mereka sebagai bagian dari tugas-tugas reproduksi yang harus dilakoninya.

Kepemimpinan dalam Keluarga

QS. 4 : 34 biasanya dijadikan dasar untuk memberikan hak kepada suami untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Pemahaman ini berangkat dari salah satu pengertian kata qawwam, yakni al-amir yang berarti pemimpin. Dalam kebanyakan literatur tafsir abad tengah, seperti al-Kasysyaf, dijelaskan bahwa suami sebagai pemimpin itu berkedudukan seperti pemerintah bagi rakyat, yang berhak untuk memerintah dan melarang. Sedang literatur tafsir modern, seperti al-Manaar, memberikan penjelasan yang mendekati prinsip-prinsip dasar hubungan pria, yakni fungsi himayah (membela), ri’ayah (melindungi), wilayah (mengampu) dan kifayah (mencukupi).

Dalam bahasa Arab, istilah qawwam juga memiliki pengertian lain, yaitu al-qawy ‘ala qiyam bi al-amr (orang yang kuat melaksanakan urusan). Berdasarkan pengertian ini maka ayat 34 dari surat an-Nisa’ menunjukkan bahwa suami itu harus mengurus istrinya yang melaksanakan tugas-tugas reproduksi. Dengan demikian, ayat tersebut dapat dipahami tidak menunjuk hak kepemimpinan suami, tapi tanggung jawabnya untuk memberikan kesejahteraan kepada istri yang hamil, melahirkan dan menyusui. Tanggung jawab dan tugas ini menjadi kelebihan yang telah diberikan oleh Allah kepada masing-masing pasangan.

Poligami dan Kekerasan dalam Keluarga

Materi poligami disampaikan al-Qur’an dalam QS. 4 : 3, 20 dan 129. Ayat pertama berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan, syarat adil dan batas poligami dengan empat istri; ayat kedua tentang larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada istri; dan ayat ketiga tentang ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya yang dipoligami.

QS. 4 : 3 menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim. Pemahaman terhadap persoalan ini dapat dilakukan dengan merekronstruksi sejarah ketika ayat ini diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu Islam baru saja mengalami kekalahan besar dalam perang Uhud yang menelan korban 70 pria dewasa sebagai syuhada. Ketika gugurnya 10 persen pria muslim yang menjadi tumpuan keluarga, maka banyak perempuan yang menjanda dan banyak anak-anak yang menjadi yatim kehilangan penopang ekonomi keluarga.

Pada masa ketika tribalisme masih menjadi struktur sosial masyarakat Arab jahiliyah, hal itu tidak menjadi persoalan karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan jaminan sosial kepada warganya, akan memberikan santunan kepada mereka. Namun ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang, Nabi tidak berperan sebagai kepala suku yang menyantuni janda-janda dan anak-anak yatim yng ditinggalkan, melainkan sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena kas negara sangat terbatas, maka warganya yang memiliki kecukupan secara mental dan material dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami sebagai katup pengaman sosial.

Dari penjelasan itu maka dapat dipahami bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan yang berlaku ketika terjadi “darurat sosial” dan bukan untuk situsasi normal dan “darurat individual”. Dan walaupun menjadi aturan darurat, poligami tetap diberi prsyaratan ketat, sebab itu semua merupakan konsep ideal yang mengacu pada ajaran Muhammad dan telah disampaikan al-Qur’an.

Poligami yang dilakukan tidak karena darurat sosial itu seharusnya dapat dicegah. Pencegahan poligami saat ini nampaknya sudah merupakan keharusan sejarah lantaran semakin menguatnya kesadaran tentang kemanusiaan, yang Islam ikut meloporinya. Latar belakang budaya dari poligami diantaranya adalah pandangan bahwa wanita itu di bawah pria. Dalam kebudayaan yang maju maka pandangan itu sudah tidak ada. Karena itu, meskipun ada yang memperjuangkan atau mendukung poligami, prose munkarisasi lembaga itu tetap berlangsung. Proses ini sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dari nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu yang memandang kekerasan terhadap perempaun tidak hanya sebatas kekerasan fisik saja, tapi juga kekerasan psichis dan seksual. Dan saat ini orang menilai poligami sebagai salah satu bentuk kekerasan psichis terhadap wanita (istri).

Nilai itu bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari agenda penghapusan beberapa bentuk kekerasan terhadap wanita di masa Nabi yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an, diantaranya : membunuh bayi perempuan dengan menguburnya hidup-hidup (QS. 81 : 8 – 9), memukul (QS. 4 : 30), menceraikan istri setelah lanjut usia untuk selama-lamanya (QS. 58 : 2), mengusir dari rumah (QS. 65 : 1), membuat sengsara dan menderita (QS. 65 : 6) serta mempersulit kehidupan wanita (QS. 2 : 236).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar