Antara Kiat dan Strateginya Oleh : Muh. Nasihuddin, SHI, MA
(Kepala KUA Kecamatan Gianyar)
Pembentukan
keluarga sakinah dalam Islam adalah dambaan bagi setiap pasangan yang sejak
melakukan ijab qobul telah bercita-cita mewujudkan keluarga tersebut. Ada
beberapa kiat dan strategi yang dapat dikembangkan dalam keluarga untuk
mewujudkannya, diantaranya :
Banyak lintasan
pertanyaan yang seringkali muncul dalam benak kita ketika telah berkeluarga.
Pertanyaan itu antara lain, “Sudah sekian
lama berkeluarga, namun sampai saat ini mengapa saya susah bahagia?”
Kadangkala juga bertanya, “Dimanakah
kebahagiaan itu ?”. Atau mungkin memikirkan, “Mengapa kebahagiaan itu sukar hadir dalam istana yang dibina bersama
pasangan ?” Atau ada juga yang bertanya, “Mengapa kebahagiaan saya kian menjauh ?”
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut dalam
benak kita ini memerlukan jawaban sebagai solusinya. Dan sebenarnya, jawaban
semua persoalan itu ada dalam diri kita sendiri. Nah, yang menjadi musuh kita
saat ini sehingga kita tidak mampu menjawab problem tersebut adalah pada sikap,
tindakan atau praktik kita, “Apakah kita
mau atau tidak untuk berbuat dan berbenah menjadi bahagia ?”
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk perubahan
itu. Pertama, mulailah dengan
mendefinisikan kebahagiaan rumah tangga anda sendiri. Hakikat yang mesti
diterima adalah kebahagiaan orang lain tidak mesti sama dengan apa yang ingin
kita bina. Lebih mudahnya, kebahagiaan kamus kita mungkin berbeda dengan kamus
kebahagiaan orang lain. Merasa bahagia itu terlalu subyektif untuk diuraikan.
Jadi, ciptakan kebahagiaan itu sekarang juga sebelum kebahagiaan itu hilang
dari kita. Jangan kebahagiaan yang dikonsepsikan orang lain anda paksakan untuk
rumah tangga anda, walau anda berhak untuk belajar dari kebahagiaan orang lain.
Kedua, ada
beberapa tindakan yang dianggap remeh namun amat berkesan dalam membina
hubungan berumah tangga dengan pasangan. Sebut saja misalnya mengerlipkan mata
pada pasangan walau sesekali, atau memilih lagu yang bisa dinyanyikan bersama
sewaktu bercengkrama atau ketika beristirahat di rumah pada akhir pekan dan
hari lainnya. Atau kalau belum pernah dilakukan, boleh dicoba untuk sesekali
suami menyediakan sarapan untuk istri dan anak-anaknya. Intinya, keharmonisan
keluarga perlu dibangun dan dipelihara.
Tiada salahnya, mulai sekarang, mengawali setiap hari baru
dengan salam dan kecupan mesra untuk pasangan dan anak-anak. Ini bukan saja
membuat pasangan merasa dihargai dan disayangi, malah lebih jauh menambah lagi
benih-benih cinta dan menyemarakkan kasih sayang dalam ‘istana’ yang dibina.
Atau sesekali bertanya kepada pasangan kita, “Apakah yang perlu saya perbuat untuk membuat kamu merasa bahagia ?”
Pernahkah kita bertanya demikian itu ?
Memang, tidak sulit sebenarnya untuk menciptakan kebahagiaan
dalam rumah tangga kita. Jika orang lain boleh bahagia dengan cara mereka, kita
juga harus punya resep sendiri untuk menciptakan bahagia di dalam ‘surga
impian’ kita, “Baiti Jannati” seperti
yang diidam-idamkan semua orang. Jangan sampai rumah kita tidak lebih baik dari
tempat kerja kita. Rumah tangga banyak bermasalah karena sudah tidak berfungsi
seperti oase dalam kehidupan ini. Setelah seharian bekerja, kita membutuhkan
tempat beristirahat dan rasulullah telah menegaskan bahwa “Rumahku adalah surga bagiku.”
Kata al-jannah
berasal dari akar kata al-janana yang
berarti terlindungi. Disebut jannah
karena terdapat gundukan-gundukan tanah yang tertutupi oleh taman-taman yang
indah sehingga sejuk dipandang. Jadi, definisi sebuah rumah adalah tempat untuk
memperoleh sesuatu yang nyaman, kepuasan batin, tempat untuk istirahat, tempat
untuk berbagi rasa serta tempat untuk saling mencintai dan dicintai.
Ketika fungsi rumah sudah tidak seperti itu maka kita sudah
mulai menjadi manusia yang tidak menyejukkan alias gersang dan sangat
berpotensi menjadi orang yang frustasi. Sudah saatnya kita mengingatkan dan
menyadarkan diri bahwa ada hal-hal kecil yang perlu dan harus dilakukan dalam
sebuah keluarga untuk membangun jannah dan
itu merupakan bagian dari “jihad” kita.
Bagaimana caranya kita memulai mewujudkan baiti jannati ? Awali dengan memahami
posisi dan peran masing-masing anggota keluarga. Jadikanlah ayah laksana
Matahari, ibu adalah rembulan dan anak-anak kita ibarat bintang keluarga.
Ayah adalah suami dari istri dan bapak dari anak-anak. Dia
adalah matahari keluarga, sumber dari kehidupan sebuah keluarga. Ayah yang
mendambakan anak-istrinya selalu setia menemaninya di dalam kebenaran dan sabar
serta penuh kesabaran menasehati dirinya tatkala tergelincir di dalam
kekeliruan. Ayah yang senantiasa mendahulukan pemenuhan kewajiban sebelum
menuntut haknya ditaati anak-istri. Ayah yang meyakini bahwa dirinya adalah qawwam, pihak pertama dan utama yang
akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah SWT akan taqwa tidaknya keluarga
di bawah kepemimpinannya.
Ibu adalah istri dari suami dan ibu bagi anak-anak. Ia
ibarat rembulan yang menerangi, mengayomi, menjaga dan memberi keteduhan
terhadap segenap anggota keluarga. Ibu adalah simbol kasih sayang dan pendidik
pertama dan utama dalam keluarga. Meminjam bait nasyid Az-Zikr, istri bagi
suami laksana tongkat bagi si buta, penyejuk mata, penawar hati, penajam
pikiran. Di rumah dia istri, di jalanan kawan, di waktu buntu dia penunjuk
jalan. Karenanya, Islam sangat menjunjung tinggi derajatnya dan menempatkan
surga di bawah telapak kakinya. Seseorang yang menghormati ibunya akan
ditempatkan di surga dan orang yang mendurhakainya akan ditempatkan pada posisi
yang hina.
Sedang anak adalah bintang keluarga, bintang-bintang zaman,
mereka adalah laki-laki dan perempuan kehidupan (ibnuz zaman). Anak adalah investasi bagi orangtuanya sepanjang
masa, serius dalam pendidikannya agar menjadi anak shaleh dan ‘saham’ orangtua
di masa mendatang. Tenaga yang sepatutnya dicurahkan untuk mendidik dan
mempersiapkan masa depan anak bukanlah tenaga sia-sia dan bukan pula tenaga
sisa-sisa. Jangan sampai kepedulian orangtua terhadap pendidikan dan persiapan
masa depan hanya dengan menggunakan waktu dan tenaga sisa yang dimiliki: sisa
dari kantor, sisa dari acara arisan dan sisa-sisa lainnya. Bayangkan apa yang
akan kita dapat dari investasi yang serba sisa ?
Memang membina keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, konsep
Baiti Jannati merupakan idaman semua
orang. Berubahlah sedikit demi sedikit dan yang paling utama selalulah berdoa
kepada Allah SWT untuk keluarga, minimal untuk pasangan dan anak-anak. Mohonlah
untuk kekalnya keharmonisan dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Allah
SWT telah berjanji untuk memperkenankan doa-doa hamba-Nya bagi mereka yang
memang mau untuk berdoa. Rabbana Hablana
Min Azwajina Wa Dzurriyatina Qurrata A’yun Waja’alana Lil Muttaqina Imaman. Semoga
Allah menjadikan pasangan dan buah hati kita menjadi generasi yang menyejukkan
dan menjadikkannya pemimpin yang bertaqwa.
B. Surga di Bawah
Telapak Kaki Ibu
Seorang anak mencoba mengangkat dan mengamati kaki ibunya
sembari bertanya, “Mama..dimana surganya?
Kok ndak kelihatan.” Pertanyaan polos yang kontan membuat sang ibu
tersenyum itu boleh jadi juga
menghinggapi benak pikiran kita ketika memahami salah satu hadits yang
populer didengungkan mayoritas umat Islam tentang kemuliaan seorang ibu adalah al-jannatu tahta aqdamil ummahat, “Surga
berada di bawah telapak kaki ibu.”
Ungkapan metaforis hadits tersebut menarik untuk dicermati,
seakan menyiratkan betapa dekatnya jarak kita dengan surga. Ia bukanlah tempat
mewah yang jauh dari jangkauan angan-angan; ia bukanlah lokasi yang membutuhkan
“biaya” mahal untuk mencapainya. Surga berada di bawah kaki ibu, artinya kunci
masuk surga adalah berbuat baik dan berbakti kepada seorang perempuan bernama
ibu; password dan PIN surga ada di
sekeliling kita; sumber kebaikan untuk meraih surga ternyata ada di dalam rumah
dan keluarga sendiri.
Namun tidak semua muslim menyadari ajaran yang tersirat dari
sabda tersebut. Banyak orang kini berbondong-bondong mencari surga justru
dengan cara meninggalkan rumah dan bahkan tanpa sepengetahuan keluarga.
Sebagian umat terkadang ikut pula tergiur akan impian indah tentang surga.
Surga ibarat obat ampuh untuk menawarkan rasa perih dan penderitaan yang mereka
tanggung. Kebodohan dan keterbelakangan membuat mereka frustasi dalam menjalani
hidup dan satu-satunya harapan adalah hidup bahagia di kemudian hari.
Seluruh amal perbuatan mereka selalu ditujukan untuk
mendapat surga. Mereka seakan berebut kavling surga karena pilihan setelah mati
hanya dua : surga atau neraka. Demi berebut surga, tak jarang mereka justru
bertengkar, berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai
pendosa dan pembuat bid’ah. Doktrin itu pula yang melumpuhkan etika dan
moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa bahwa ajaran Islam sangat
menekankan pentingnya amal shalih dan kebajikan kepada sesama, dan kebaikan itu
dapat diciptakan dalam keluarga sendiri.
Karena itu, tak heran kalau kalangan sufi sampai mengkritik
prilaku masyarakat untuk “berebut surga”. Seorang sufi perempuan, Rabi’ah
al-Adawiyah sampai mengungkapkan kegundahannya, “Aku akan ke langit untuk
membakar surga dan memadamkan neraka agar keduanya tidak menjadi alasan orang
untuk berbakti kepada-Nya.” Sudah saatnya kita gali dan nikmati surga di dalam
keluarga kita, sudah waktunya kita ciptakan surga-surga bersama suami, istri
dan anak-anak di dalam rumah sendiri.
Selain meniatkan menikah dan berkeluarga sebagai sebuah
media ibadah kepada Allah (kebajikan vertikal), keluarga juga dapat dijadikan
sumber kebaikan bagi seluruh anggotanya. Kebajikan horisontal itu dapat
dimunculkan oleh suami kepada istri, komunikasi istri kepada suami dan antara
orangtua terhadap anaknya.
Alangkah indahnya jikalau suami bekerja dilepas dengan
senyuman serta pelukan hangat dan pulangnya disambut dengan tangan mesra sang
istri. Begitupula tatkala istri tampak begitu pulas tertidur setelah seharian
mengurus rumah, sang suami dengan lembut mengusap dan membelai rambut istri
sembari terucap do’a, “Ya Allah, limpahkan keberkahan dan kenikmatan bagi istriku
yang telah membahagiakanku.” Sedang saat kebersamaan dihiasi dengan semangat
romantisme, dialog-dialog “dua arah” yang saling menyemangati dan memberi
solusi atas pelbagai problem yang sedang dihadapi masing-masing pihak.
Ya...bersungguh-sungguhlah menjadi “sebab” bagi kebahagian
pasangan anda dan hal itu akan dapat terwujud bila anda mampu mengembangkan
sifat ikhlas dan ridlo dalam komunikasi suami dan istri. Suami dengan ikhlas
melakukan apapun (baca : bekerja) untuk membahagiakan keluarga dan istri dengan
ridlo menerima apapun yang dihasilkan oleh suami. Begitu pula sebaliknya, suami
juga tidak akan menggerutu menikmati apa yang disajikan istri dengan susah
payah walau boleh jadi hal itu bertentangan dengan apa yang diinginkannya.
Bagaimana mewujudkan kebaikan antara orangtua dengan anaknya
? Jadilah orangtua yang dicintai anak-anaknya dan bantulah atau permudahlah
mereka untuk berbakti kepada Allah dan kedua orangtuanya.
Suatu hari, seseorang menghadap Khalifah Umar bin Khattab
dengan membawa anak lelakinya. Ia mengadukan betapa durhaka dan kurang ajar
anaknya. Khalifah mendengarkan pengaduan orangtua tersebut. Beliau tidak serta
merta menyalahkan si anak tersebut tetapi malah mengingatkan kepada orangtuanya
akan hak anak seperti memilihkan ibu si anak dari golongan baik-baik, memberi
nama yang baik, memberi nafkah sepantasnya, mendidik dengan akhlak yang baik
dan mengajari ilmu untuk bekal hidupnya.
Seketika itu juga si anak menyahut uraian Umar. “Tak satupun
dari hak-hak itu yang diberikan. Ibu saya tidak jelas asal-usulnya dan
berperangai sangat buruk. Dari kecil saya dipaksa mencari nafkah dengan
menggembala ternak dan saban hari diberi contoh akhlak yang buruk, dengan
pertengkaran yang tiada henti, perkataan yang kotor dan tindak kekerasan. Jangankan
diajari ilmu, yang ada hanya dampratan dan perlakuan kasar. Dalam hatiku hanya
ada dendam dan menunggu saat bisa membalasnya.” kata si anak.
“Apa benar demikian ?” tanya Umar. “Jika demikian, sungguh
engkau telah merusak anakmu dengan tanganmu sendiri. Engkaulah yang pantas
mendapat hukuman atas kesalahan ini.” tambahnya.
Dari deskripsi kisah tersebut secara tegas mengajarkan bahwa
anak adalah cermin orangtuanya. Karenanya, jika kita menginginkan anak menjadi
shalih/ah dan berbakti bagi agama dan orangtua maka bersihkanlah terlebih
dahulu cerminnya dengan mengajarkan hal-hal yang terpuji. Jangan sampai anak
justru menjadi “merdeka” bila orangtuanya pergi, merasa bangga kalau
orangtuanya tiada. Justru ciptakanlah orangtua yang selalu dicintai dan dirindukan
anak-anaknya.
“Berbuat baiklah kamu terhadap ibu dan bapakmu, niscaya
anak-anakmu akan berbuat baik terhadapmu.” (HR Thabrani). “Barangsiapa yang
mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat
baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari
siksa neraka.” (HR Bukhari Muslim)
C. Yuk
… Berdakwah kepada Tetangga !
Kita begitu
merindukan masyarakat imani, masyarakat yang membuat setiap orang selalu ingin
berada di tengah mereka. Hanya
ini masyarakat yang membuat anak manusia merasa aman dari lisan dan tangan
mereka. Alangkah tenteram berada di tengah mereka. Masyarakat ini adalah
masyarakat surgawi dan tetangga-tetangga ini kita doakan menjadi tetangga kita
kelak di surga nanti.
Inilah masyarakat
yang setiap hari menyambung silaturrahmi di dalam rumah Allah melalui jamaah
shalat dan majelis ilmu. Tumit-tumitnya merapat, pundak-pundaknya luwes saling
bersentuh, barisannya lurus dan takbirnya serempak menggemakan kebesaran Allah.
Masyarakat yang rumpiannya rumpian iman, arisannya majelis dzikir dan gotong
royongnya jihad fi sabilillah.
Memang sulit
mencari, tetapi alangkah indahnya memulai dari diri sendiri dan itu merupakan
bagian dari dakwah ilallah. Dimanapun
bumi tempat berpijak, kata Umar ibn al-Khattab, wujud keislaman tersebut adalah
kewajibanmu. Maka adakah di dalam visi dan misi pernikahan kita terselip sebuah
kata serta konsep dakwah, baik terhadap intern keluarga maupun dengan sesama
masyarakat atau tetangga ?
Ya, dakwah intern keluarga dapat dimulai dengan memahami bahwa keluarga
merupakan ladang kebaikan bagi penghuninya (baiti jannati) karena surga
memang berada di bawah telapak kaki ibu. Potensi menciptakan kebaikan sangat
dekat dengan kita sehingga seyogyanya kita tidak perlu dipusingkan untuk
mencari kebaikan justru dengan meninggalkan keluarga kita. Memberikan salam dan
kecupan seorang suami kepada istrinya, senyum manis sang istri untuk menyambut
suaminya pulang kerja dan kerja bakti orangtua memudahkan anak untuk berbakti adalah
hal indah yang dapat diwujudkan hanya di dalam rumah sendiri.
Bagaimana dengan
masyarakat, khususnya tetangga ? Jawabannya mudah, ikuti tauladan bermasyarakat
yang telah dicontohkan rasulullah Muhammad SAW. Ada sebuah kisah menarik dari
seorang dosen yang mendapat tugas belajar di Jepang. Beliau mampu mengislamkan
beberapa keluarga disana. Bagaimana bisa ? Awalnya adalah saat sang tetangga
pergi berlibur. Nah sang tetangga ini berlangganan koran yang diantar tiap
pagi. Karena tak ada yang di rumah, dosen tersebut membawa koran itu ke
rumahnya. Begitu tiap hari sampai sepuluh hari lamanya. Ketika sang tetangga
pulang, dia menyerahkan seluruh koran yang dikumpulkannya tersebut.
Sang tetangga
heran, kok sepeduli itu dan apa alasannya ? ”Kalau ada koran menumpuk di depan
rumah, orang akan tahu bahwa rumah ini kosong. Khawatirnya, ada yang punya
maksud tidak baik.” jelasnya singkat. Luar biasa .... Belum lagi cara
sederhananya untuk ’hanya’ berbagi kuah makanan atau bahkan sepotong roti
dengan tetangga dan berbagi udara untuk sekedar lewat diantara rumah kita
dengan rumah di sekeliling kita.
Kita dapat
melihat sebuah interaksi bertetangga yang dapat dijadikan sebuah media dakwah
yang mendatangkan keridhaan Allah dan benefit bagi agama. Banyak kebaikan yang
dapat diisi dalam indahnya bertetangga dan beberapa cara untuk mewujudkannya
adalah: pertama, pandanglah bahwa manusia adalah makhluk
yang dinamis. Ia dapat belajar dari kesalahan dan memperbaikinya di waktu-waktu
yang akan datang. Adalah ketidakadilan menilai manusia hanya berdasar jejak
rekam masa lalu. Semua manusia bisa tersalah, sehingga ada peluang keindahan
dengan memaafkan. Ada penerimaan yang imbal baliknya adalah proses perbaikan.
Kedua, bebaskan diri dari prasangka. Segala hal yang
’terlalu’ tidaklah menampakkan kebaikan yang utuh. Prasangka yang terlalu baik
membuat kita terjebak pada sifat lalai, ghurur (tertipu) dan terseret
untuk bersikap tidak adil. Sebaliknya prasangka yang buruk akan membinasakan,
menjadi self fulfilling prophecy. Bukankah Jibril pernah berpesan kepada
Muhammad dan meneruskan ajaran itu kepada kita, ”Cintailah orang yang kamu
cintai sewajarnya karena boleh jadi suatu ketika ia menjadi orang yang paling
kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika
ia menjadi orang yang paling kamu cintai.” (HR. Bukhari).
Ketiga, nilailah apa adanya dan beranilah mengambil sikap
yang tepat. Nilailah serta bersikaplah objektif dan apa adanya sesuai interaksi
kita dengan mereka. Bersikaplah sebaik-baiknya dan katakanlah tidak tahu jika
kita memang belum memahami. Dengan pemahaman tersebut, kita akan dapat bersikap
dengan tepat untuk mengenal tetangga . Dalam konsep yang dibawakan Khalifah
Umar, mengenal seseorang berarti pernah bermalam bersamanya, melakukan mu’amalah
atau melakukan suatu perjalanan bersama.
Keempat, kosongkan diri dari tujuan kotor. Allah
menciptakan manusia untuk saling mengenal. Tujuan suci itu baru akan terwujud
bila hati kita juga suci atau bersih dari tujuan atau pikiran kotor. Maka janganlah
ada tujuan-tujuan kotor dalam bertetangga : memanfaatkan, menyakiti atau
merusak. Ingatlah bahwa ma’shiat kepada tetangga akan dilipatgandakan
keburukannya oleh Allah. Imam Bukhari pernah meriwayatkan bahwa berzinanya
seseorang dengan sepuluh wanita lebih ringan dosanya daripada jika ia berzina
dengan istri tetangganya dan mencuri di sepuluh rumah lebih ringan dosanya
daripada pencurian yang ia lakukan di rumah tetangga.
Dan kelima,
berpegan pada standar ilahiyah dan kalimat tauhid. Laa ilaaha, divisualisasikan dengan mengosongkan diri dari
standar-standar pribadi dan standar artifisial lainnya, kemudian illallah
membuat kita menetapkan diri pada standar ilahi. Seseorang diukur bukan dengan
hartanya, keturunannya, kedudukan, atau jabatannya, melainkan dengan
ketaatannya menjalankan perintah-Nya. Bukankah yang termulia di sisi Allah
diantara kita adalah yang paling bertaqwa ?
D. Muliakanlah Pasanganmu
!
Mengapa banyak
orang yang setelah menjalani hidup berumah tangga justru merasa “marah” pada
pasangannya ? Bukankah kemantapan bersama untuk menempuh bahtera rumah tangga
senantiasa didasari keinginan bahagia ? Dan bagaimana mengatasinya ?
Sahabat nabi yang
juga khulafaur rasyidin, Umar bin Khattab radliyallahu
anhu pernah berpesan ketika ditanya oleh seorang Arab Badui, mengapa ia
diam saja ketika istrinya marah dan berteriak padanya. “Wahai saudaraku
semuslim, aku berusaha menahan diri dari sikapnya itu karena ia memiliki
hak-hak atas diriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski aku bisa saja menyakitinya
dan memarahinya. Akan tetapi aku sadar bahwa tidak ada yang dapat membantu kaum
wanita selain orang yang mulia; dan tidak ada orang yang merendahkan mereka
selain orang yang suka menyakitinya. Mereka (kaum wanita) dapat mengalahkan
orang mulia tetapi mereka dapat dikalahkan oleh orang yang suka menyakiti.
Namun aku sangat ingin menjadi orang yang mulia meski aku harus kalah dan aku
tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku kelak termasuk orang
yang menang.”
Apa hikmah yang
dapat dipetik ? Hal yang terpenting dari perkawinan adalah bagaimana caranya
menciptakan kasih sayang, bukan semata menetapkan daftar hak dan kewajiban.
Tentu tidak ada suami atau istri yang ingin merasa dikalahkan, merasa
direndahkan, bila kita sama-sama berkomitmen menjunjung kasih sayang. Amarah
bukanlah solusi terbaik dari dinamika rumah tangga dan kasih sayang dengan
menahan amarahlah yang menyebabkan kemuliaan seorang pasangan, meskipun harus
mengalah. Memuliakan pasangan kita agar tidak terluka sekaligus adalah upaya
memuliakan diri sendiri karena menghindarkan diri dari tipu daya setan lewat
amarah.
Proses untuk
menjadi pribadi yang mulia tentu adalah perjalanan yang butuh perjuangan.
Proses ini membutuhkan kematangan pribadi seseorang sekaligus mampu mempercepat
kematangan pribadi. Karena dengan mengikatkan diri dalam perkawinan berarti
seseorang telah siap untuk menerima tanggung jawab sebagai seorang suami,
sebagai isteri, dan kemudian peran sebagai orangtua dari anak-anak yang
terlahir. Penambahan peran dari peran-peran sebelumnya ketika kita belum
berkeluarga ini juga berarti satu hal : kemampuan dan kemauan kita untuk
berubah. Berusaha untuk saling memahami perubahan itu akan menjadikan pasangan
seiya-sekata dalam menghadapi beratnya kenyataan hidup. Kini mereka bukan lagi seorang manusia melainkan sepasang manusia. Cobalah membuka hati
untuk menyadari bahwa apa yang kita lakukan kini berdampak bagi orang lain,
terutama pasangan kita.
Dengan demikian,
kita akan berusaha mengelola ego dan berusaha untuk melihat sesuatu dari sudut
pandang orang lain. Namun hal ini bukan berarti harus selalu menempatkan diri
kita pada posisi yang kalah. Dalam
bahasa kiasan, bukan kurang cantik dan tampannya pasangan hidup yang membahagiakan kita, tetapi
kurang cantiknya upaya kita untuk saling mencintai. Bernegosiasilah dengan pasangan dan
pada keadaan sehingga kita dapat merasakan apa yang dirasakan olehnya tanpa
mengesampingkan apa yang membuat kita bahagia.
Berbicaralah dari
hati ke hati, mencoba menempatkan diri pada posisinya tentu akan membuat
perasaan tenteram itu semakin meliputi hati. Kehadiran kita pada pasangan yang penuh kemuliaan dan kasih sayang-lah,
yang menjadikan Anda pribadi yang kehadirannya senantiasa dirindukan dan dimuliakan pasangan kita. Ingatlah, bahwa
cinta adalah pengutuh kehadiran.
Jadilah pribadi yang mencintai karena apapun akan menjadi indah dalam pandangan orang yang mencintai, seperti
apapun menjadi merdu dalam pendengaran yang mengasihi. Dan apapun menjadi
lembut dalam sentuhan yang pengasih, seperti apapun terasa nikmat bagi hati
yang penyayang.
“Maa akraman nisa’ illa kariim wa maa ahaanahunna
illa la’im.” (al-hadits)
Kita baru akan menjadi suami yang mulia kalau kita mampu memuliakan istri kita
dan kita hanya akan menjadi suami yang terhina kalau kita hanya mampu menghina
pasangan kita. Karena itu, muliakanlah pasanganmu !
E. Bila Pasangan Tak
Seperti Dulu Lagi
Semua manusia
dapat berubah setiap saat. Sayang, banyak orang yang tidak siap dengan
perubahan yang terjadi pada pasangannya; seringkali lupa bahwa ketika pertama
kali menapaki lembaran-lembaran kehidupan baru tersebut, kita juga telah
memasuki sebuah wilayah asing yang belum pernah kita jamah.
Dalam konteks
keluarga, terkadang kita melihat pendamping kita tak seperti yang dikenal saat
awal-awal pernikahan. “Dia sudah banyak berubah,” begitu yang seringkali
terlontar dari gumaman hati. Sang istri merasa bahwa suami yang dulu penuh
dengan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, kini menjadi manusia super
sibuk dengan setumpuk pekerjaan kantor yang kerap dibawa pulang. Di lain pihak
sang suami juga berprasangka bahwa istri yang dulu selalu penuh perhatian, kini
tak punya waktu yang cukup untuk sekedar membuatkan makanan kesukaannya karena
sibuk mengurus si kecil.
Akhirnya ruang
yang menjeda diantara pasangan semakin lebar. Rumah tak lagi menjadi tempat
yang didambakan untuk bertemu dengan orang-orang yang menjadi sumber
kebahagiaan, baiti jannati. Semua
sibuk dengan gumaman di dasar hati serta merindukan suasana yang dulu pernah
ada untuk kembali dalam kehidupan mereka. Bilakah semua ini berakhir ?
Layaknya hari
yang senantiasa berganti antara siang dan malam, inilah kehidupan yang segala
sesuatunya pasti akan berubah. Bila suami dulu senantiasa siap selalu berada di
sisi sang istri, mungkin karena ia belum memegang posisi sentral di tempat
tugasnya, maklumlah pegawai baru yang fresh
graduate. Kini ia berubah dengan setumpuk job deskripsi yang mungkin
sebelumnya tak pernah diungkapkan; berawal dari rasa tanggung jawabnya
menghidupi istri dan anak hingga ia tak lagi punya banyak waktu menemani dan
membantu istri di rumah.
Begitu pula
dengan bundanya anak-anak. Ketika buah hati belum hadir maka ia senantiasa punya waktu untuk memperhatikan secara detil
keperluan dan hobi sang suami. Namun kini dengan tangisan buah hati yang tiada
henti, perhatiannya lebih terfokus pada buah cinta mereka. Semua yang
dilakukannya semata untuk membuat istirahat suami tercinta tidak terganggu
akibat jeritan sang buah hati.
Ya, berta’aruflah sejenak, mencoba berkenalan
dengan tugas dan tanggung jawab barunya yang tengah diemban. Cobalah
meninggalkan wilayah aman yang kita huni saat awal pernikahan ini dan
berkenalan kembali dengan sosok yang menemani kita selama ini. Pasti ada
sesuatu baru yang membuat kita semakin mencintainya; pasti ada kejutan baru
lainnya yang selama ini terlewatkan begitu saja karena kita terlalu sibuk
dengan pikiran kita sendiri. Dan proses ta’aruf itu senantiasa tak akan pernah
berhenti, tak akan pernah mengenal kata selesai selama kita masih bernafas.
Memang,
pernikahan sepasang insan manusia ibarat mengayuh perahu kecil di tengah
samudera raya. Antarpasangan harus menjaga agar perahu kecil tersebut tidak
terseret riak ombak atau tenggelam diterjang gelombang. Karenanya, berdamailah
dengan suasana yang kini sedang hadir di hadapan dan melingkupi kehidupan kita
agar kita tidak semakin tenggelam karena dinamika ombak dan gelombang tersebut.
Kita tidak selalu berkuasa untuk menghadapi dan merubah sesuatu sesuai dengan
yang kita inginkan. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] :
216, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimua. Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Jadi, mulailah
senantiasa berkenalan dengan apapun yang hadir dalam kehidupan kita, setiap
saat, setiap waktu; senantiasa membuka hati untuk menerima perubahan dan
sesuatu yang baru. Bila kita menolak untuk senantiasa berkenalan, sementara
perubahan niscaya selalu terjadi kemudian kita diam saja, maka kita akan
tergilas olehnya. Pahamilah pasangan kita, buah hati kita, orang-orang tercinta
yang ada di sekeliling kita dengan keadaannya sekarang.
Kembangkanlah
manajemen husnudzan dalam mengolah
perasaan kita dalam menghadapi dinamika kehidupan yang sedang kita dan pasangan
jalani. Tentu raga akan selalu lelah bila bersemayam dalam jiwa kita
prasangka-prasangka tidak baik terhadap perubahan yang terjadi pada pendamping
kita. Bukankah mereka kita pilih sebagai teman hidup karena menganggap bahwa
dialah orang yang tepat untuk mengikatkan jiwa dan raga kita, secara konsisten
saling menghidupi jiwa antarpasangan dan menjiwai kehidupan perkawinan.
Kita sangat sadar
kalau kita tidak mampu membuat sesuatu yang ada di atas muka bumi ini tetap
dalam keadaannya dari awal hingga ujung waktu. Segala sesuatu yang ada di dunia
ini akan selalu berubah karenanya bersifat fana. Yang kekal hanyalah pemilik
dunia ini, tempat dimana seharusnya kita melabuhkan diri manakala perubahan mungkin
akan mengusik dan membuat resah hidup. Memegang teguh prinsip dan keyakinan
bahwa Allah-lah satu-satunya tujuan kita dalam menjalani setiap liku kehidupan
akan membawa kita pada sebuah keikhlasan untuk menerima apapun kenyataan yang
telah, sedang dan akan terjadi.
Teruslah berta’aruflah dan selalulah berhusnudzan, berpikiran positif, karena
itu akan menyehatkan rumah tangga beserta seluruh anggotanya.
F. “Ungkapkanlah Cinta
lewat Kata !”
Menjadikan
pasangan sebagai tempat yang paling tepat untuk berbagi memang gampang-gampang
susah, terutama bagi pasangan yang memiliki dunia berbeda. Tak semua yang kita
sampaikan atau ungkapkan dapat diterima dengan baik oleh pasangan.
Sang suami yang
sibuk di kantor sedangkan sang istri sibuk mengurus anak dan setumpuk pekerjaan
rumah terkadang membuat masing-masing merasa bahwa dirinyalah satu-satunya yang
harus dimengerti. Tak heran yang muncul kemudian adalah ungkapan kekecewaan, “Ngomong sama kamu nggak nyambung !”
Benarkah pasangan kita sudah benar-benar tidak nyambung, atau jangan-jangan
kita belum bekerja lebih keras untuk menyambungkan apa yang ada dalam pikiran
kita dengan pikiran pasangan?
Dalam komunikasi
ada dua jenis pesan yang dapat ditangkap, yakni pesan tersurat dan pesan
tersirat. Pesan tersurat adalah pesan pesan yang ditangkap dengan jelas dalam
sebuat kalimat tanpa embel-embel peristiwa yang mengikuti anggapan kalimat
tersebut. Sedangkan pesan tersirat biasanya ditangkap dengan diikuti oleh
peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi kalimat yang dinyatakan.
Yang sering
menjadi problem, kaum adam biasanya lebih senang menggunakan pesan tersurat,
sedang kaum hawa lebih sering menggunakan pesan tersirat. Misalkan sang istri
meminta suaminya membantu mencuci pakaian. Sang suami yang kala itu kelelahan
karena pulang kerja larut malam pasti akan menolak dengan alasan masih capek
atau mengantuk. Istri yang mendapat penolakan itu pasti tersinggung, apalagi
bila sang istri turut bekerja di luar rumah. Yang seketika muncul dalam benak
istri adalah betapa egoisnya sang suami, karena ia bisa tidur seenaknya,
sementara istri mendapat beban kerja dua kali lipat. Apalagi bila teringat
bahwa sebelumnya pun sang suami lebih sering menolak dan meneruskan tidurnya.
Inilah penggunaan
pesan tersurat dan tersirat dalam rumah tangga yang boleh jadi memunculkan
permasalahan yang menjadi-jadi.Sang suami menggunakan pesan tersurat karena
memang pada kenyataannya ia masih lelah, sedangkan istri menangkap dengan
mekanisme pesan tersirat bahwa memang suaminya tidak mau membantu pekerjaan
rumah tangga.
Ada Cinta dalam Kata
Cinta selalu
membutuhkan kata. Ketika cinta terkembang dalam jiwa maka tiba-tiba kita
merasakan sebuah dorongan tak terbendung untuk menyatakannya dalam kata. Ada
surat cinta, ada cerita cinta, ada pula puisi cinta serta ada lagi lagu cinta
yang kesemuanya itu adalah untaian kata-kata. Sebatas sorot mata takkan mampu
mengungkapkan semuanya karena mata hanya sanggup menyampaikan pesan bahwa ada
badai di lautan jiwa. Lalu bagaimana mengikhtiyarkan cinta lewat kata ?
Boleh jadi anda
memang bukan pujangga, tetapi kita harus melatih diri untuk pandai merangkai
kata. Cara berpikir maskulin yang mengatakan bahwa kata-kata tidak penting dan
yang penting adalah bukti bahwa kita mencintai, hanya tepat dipakai dalam persahabatan
dunia lelaki. Wanita membutuhkan kata dan ia ingin mendengar bahwa anda
benar-benar mencintainya. Kata-kata ‘gombal’
diperlukan untuk membina sebuah keakraban yang barakah. Bahka ‘dusta’ yang
menguatkan ikatan, menghargai dan memberi motivasi juga sangat diharapkan.
Dustanya bisa berupa kalimat romantis menyanjung penampilan; dustanya adalah
pujian untuk masakan yang keasinan; dustanya bisa berwujud ekspresi manja atau
kata-kata I Miss You padahal baru
berpisah satu jam yang lalu.
Ikhtiyarkanlah cinta
dengan kata-kata. Buatlah ia terbelalak dengan tempelan-tempelan kertas merah
jambu berbentuk hati di tiap sudut rumah. Tulis untuk meja riasnya, “Aku mencintaimu karena kamu cantik.”
Tulis untuk lemarinya, “Aku mencintaimu
karena kamu rapi.” Tulis untuk pintu mushalla, “Aku mencintaimu karena kamu shalihah.” Tulis untuk dapurnya, “Aku mencintaimu karena kamu lezat.”
Tulis untuk ranjangnya, “Aku mencintaimu
karena kamu ....”
Melihat Sisi Berbeda
Ungkapan cinta
kita lewat kata-kata boleh jadi akan meluluhlantahkan perbedaan penggunaan
pesan antara kita dengan pasangan. Ada baiknya meluangkan waktu sejenak untuk
mencoba cara yang lebih baik berbicara dengan belahan jiwa kita. Dengan hal
tersebut, mungkin Allah SWT mengaruniakannya kepada kita dengan maksud
memberikan kemampuan yang lebih: kemampuan memahami pasangan yang lebih baik,
lebih untuk berempati, lebih untuk lebih menyambungkan pikiran kita dengan
orang lain. Menyapa pasangan dengan sebait puisi akan dirasa lebih menggerakan
hatinya dibanding menyapanya dengan sejumlah keluhan tentang sikapnya.
Pandangan keliru
andaikata kita menganggap bahwa jika pasangan kita mencintai kita maka ia akan
bereaksi dan bertingkah laku tertentu sebagaimana kita bereaksi dan bertingkah laku. Bahayanya
lagi, terkadang kekurangpahaman ini menjatuhkan vonis kepada pasangan bahwa ia
banyak kekurangan. Kita yang kurang paham, dia yang selalu tersalahkan;
kacamata kita yang buram, orang lain yang kita anggap kusut; Buruk muka nggak
pernah ngaca, dan begitu terus hingga salah paham itu semakin seru. Naudzu billaahi min dzaalik.
Karena itu,
pastikan terlebih dulu bahwa kita adalah anugerah terbaik untuk pasangan kita
dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, kita tak hanya tersambung dengan
hatinya tetapi juga tersambung dengan Sang Pemilik Cinta yang akan
menyambungkan kita dengan berkah-Nya yang bertambah-tambah. Inna ma’al ‘usri yusra, fainna ma’al ‘usri
yusra (sungguh setelah kesukaran akan datang kemudahan. Maka yakinlah
setelah kesusahan akan datang kemudahan).
G. Memahami Hak dan
Kewajiban
Al-Qur’an menegaskan perkawinan sebagai satu-satunya
prosedur yang ditempuh pria dan wanita untuk membentuk keluarga dengan menjadi
suami dan isteri ( QS. 4 : 24). Ketentuan ini berarti menghapus kebiasaan Arab
jahiliyah yang membolehkan prosedur pewarisan wanita (QS. 4 : 19) dan prosedur kumpul kebo yang dikenal dengan istilah ittikhadz akhdan (QS. 4 : 25).
Selain itu, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa perkawinan itu
bertujuan untuk mendapatkan ketentraman, cinta dan kasih sayang (QS. 30 : 21)
serta menjaga kehormatan diri (QS. 4 : 24 dan 5 : 5), yaitu kehormatan seluruh
anggota keluarga secara keseluruhan bukan personal. Karena itu, nikah mut’ah
dan nikah “di bawah tangan” dinilai tidak dapat mencapai tujuan perkawinan
tersebut. Hal ini karena istri yang dipersunting dan anak-anak yang dilahirkan
dipandang sebagai pihak yang memiliki cacat hukum sehingga tidak memiliki
hak-hak sebagaimana layaknya istri dan anak yang sah.
Disamping menegaskan beberapa hak bagi istri yang harus
dipenuhi suami (seperti nafkah dan muasyarah
bil ma’ruf), Islam mengajarkan hak dan kewajiban suami-istri dengan
mengemukakan rumusan adil dan universal (QS. 2 : 228). Sebagai tolak ukurnya,
menurut Muhammad Abduh, ada empat kriteria yang dapat dijadikan pedoman yaitu
kodrat alamiah, agama, kebiasaan dan kepribadian luhur.
Berdasarkan kriteria itu, hak dan kewajiban istri di daerah,
waktu dan kelas sosial tertentu boleh jadi berbeda dengan hak dan kewajiban istri pada derah, waktu dan
kelas social lainnya karena adanya perbedaan kebiasaan mereka. Dalm hal ini,
yang perlu diperhatikan adalah bahwa
kebiasaan yang boleh menjadi criteria adalah kebiasaan yang tidak menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal.
Rumusan hak dan kewajiban yang disajikan al-Qur’an itu
sangat jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ulama abad pertengahan. Pada
umumnya mereka menyatakan bahwa istri tidak wajib menyusui bayinya, memasak,
mencuci dan melakukan urusan-urusan rumah tangga yang lain. Kewajibannya hanya
satu, yaitu siap melayani suami secara all-out every time, kecuali jika ada
alasan yang dibenarkan syara’. Rumusan mereka itu lebih cenderung memiliki
orientasi teologis dan cultural tertentu. Kata “harts”(QS. 2 : 223) dipahami sebagai Ladang yang dapat didatangi
sesuai dengan keinginan suami. Bahkan dalam hadits, rasulullah bersabda, “Jika
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan istrinya menolak
kemudian suaminya marah maka para malaikat melaknat istri itu sampai pagi.”
(muttafaq alaih).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir, sahabat
nabi, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan adanya kepercayaan di kalangan kaum Yahudi bahwa menyebadani
istri dari arah belakang itu akan menyebabkan anak yang dilahirkannya menjadi
juling. Kepercayaan itu diikuti penduduk Madinah yang kemudian masuk Islam.
Ketika kaum Muhajirin melakukan persebadanan dengan posisi seperti itu, maka
para sahabat menanyakan kepada Nabi dan sebagai jawabannya adalah turunnya ayat
tersebut. Jadi ayat itu diturunkan untuk membantah mitos itu, tidak untuk
melegalkan eksploitasi seksual terhadap istri.
Istilah Ladang yang digunakan untuk menyebut istri sama
sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkannya, sebaliknya malah untuk
menghargainya. Ladang subur di jazirah Arab yang tandus merupakan kekayaan yang
sangat berharga. Dengan demikian, ayat itu menyiratkan pengertian bahwa istri
adalah “kekayaan” yang sangat berharga yang harus diperlakukan dengan penuh
kasih sayang, sopan dan baik serta tidak semena-mena. Hal ini ditunjukkan oleh
al-Qur’an dalam ayat lain yang menyebutkan suami dan istri itu masing-masing
menjadi pakaian bagi yang lain (QS. 2 : 187).
Adapun hadis itu kemungkinan berkaitan dengan budaya pantang
ghilah yang ada di kalangan bangsa
Arab sebelum Islam. Ghilah adalah
menyebadani istri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka memandang ghilah sebagai hal yang tabu sehingga
sampai-sampai Nabi hendak melarangnya. Beliau baru mengurungkan niatnya setelah
mengetahui bahwa ghilah yang
dilakukan bangsa Persia
dan Romawi ternyata tidak menimbulkan akibat buruk bagi anak-anak mereka (HR
Muslim dari Judzamah binti Wahab).
Disamping itu juga ada kemungkinan bahwa hadis itu berkaitan
dengan penolakan istri untuk “melayani” suami yang bisa mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan perkawinan untuk menjaga kesucian diri seperti yang telah
disebut dalam QS. 4 : 24 dan QS. 5 : 5. Dengan demikian Nabi menyabdakan itu
agar suami dan istri dapat saling memahami dan menolonmg dalam kebajikan dan
ketakwaan.
Sedangkanm pandangan ulama yang tidak mewajibkan istri untuk
menyusui anak yang dilahirkannya, kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh
tradisi Arab, khususnya suku Quraisy yang tidak menyusukan bayinya kepada
ibunya sendiri, melainkan kepada ibu asuhnya yang biasanya dicari di daerah
pedalaman. Bahkan Muhammad kecil juga sejak usia 3 hari telah disusukan kepada
Halimah dari Bani Khuza’ah. Jika demikian dalam masyarakat lain yang tidak
mengenal budaya itu, termasuk Indonesia,
ibu-ibu dapat dibebani kewajiban menyusui anak mereka sebagai bagian dari
tugas-tugas reproduksi yang harus dilakoninya.
Kepemimpinan dalam
Keluarga
QS. 4 : 34
biasanya dijadikan dasar untuk memberikan hak kepada suami untuk menjadi
pemimpin bagi keluarganya. Pemahaman ini berangkat dari salah satu pengertian
kata qawwam, yakni al-amir yang berarti pemimpin. Dalam
kebanyakan literatur tafsir abad tengah, seperti al-Kasysyaf, dijelaskan bahwa suami sebagai pemimpin itu
berkedudukan seperti pemerintah bagi rakyat, yang berhak untuk memerintah dan
melarang. Sedang literatur tafsir modern, seperti al-Manaar, memberikan penjelasan yang mendekati prinsip-prinsip
dasar hubungan pria, yakni fungsi himayah
(membela), ri’ayah (melindungi), wilayah (mengampu) dan kifayah (mencukupi).
Dalam bahasa
Arab, istilah qawwam juga memiliki pengertian
lain, yaitu al-qawy ‘ala qiyam bi al-amr (orang
yang kuat melaksanakan urusan). Berdasarkan pengertian ini maka ayat 34 dari
surat an-Nisa’ menunjukkan bahwa suami itu harus mengurus istrinya yang
melaksanakan tugas-tugas reproduksi. Dengan demikian, ayat tersebut dapat
dipahami tidak menunjuk hak kepemimpinan suami, tapi tanggung jawabnya untuk
memberikan kesejahteraan kepada istri yang hamil, melahirkan dan menyusui.
Tanggung jawab dan tugas ini menjadi kelebihan yang telah diberikan oleh Allah
kepada masing-masing pasangan.
Poligami dan Kekerasan
dalam Keluarga
Materi poligami
disampaikan al-Qur’an dalam QS. 4 : 3, 20 dan 129. Ayat pertama berbicara tentang kondisi yang melatarbelakangi pengaturan,
syarat adil dan batas poligami dengan empat istri; ayat kedua tentang larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada
istri; dan ayat ketiga tentang
ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya yang
dipoligami.
QS. 4 : 3
menghubungkan pengaturan poligami dengan ketidakadilan terhadap anak yatim.
Pemahaman terhadap persoalan ini dapat dilakukan dengan merekronstruksi sejarah
ketika ayat ini diturunkan pada tahun ke-4 H. Pada waktu itu Islam baru saja
mengalami kekalahan besar dalam perang Uhud yang menelan korban 70 pria dewasa
sebagai syuhada. Ketika gugurnya 10 persen pria muslim yang menjadi tumpuan
keluarga, maka banyak perempuan yang menjanda dan banyak anak-anak yang menjadi
yatim kehilangan penopang ekonomi keluarga.
Pada masa ketika
tribalisme masih menjadi struktur sosial masyarakat Arab jahiliyah, hal itu
tidak menjadi persoalan karena kepala suku yang memiliki kewajiban memberikan
jaminan sosial kepada warganya, akan memberikan santunan kepada mereka. Namun
ketika terjadi krisis sosial akibat banyaknya orang yang gugur di medan perang,
Nabi tidak berperan sebagai kepala suku
yang menyantuni janda-janda dan anak-anak yatim yng ditinggalkan, melainkan
sebagai kepala negara yang harus menjamin kesejahteraan warganya. Karena
kas negara sangat terbatas, maka warganya yang memiliki kecukupan secara mental
dan material dihimbau untuk menanggulangi krisis itu dengan melakukan poligami
sebagai katup pengaman sosial.
Dari penjelasan
itu maka dapat dipahami bahwa poligami dalam Islam sebenarnya menjadi aturan
yang berlaku ketika terjadi “darurat sosial” dan bukan untuk situsasi normal
dan “darurat individual”. Dan walaupun menjadi aturan darurat, poligami tetap
diberi prsyaratan ketat, sebab itu semua merupakan konsep ideal yang mengacu
pada ajaran Muhammad dan telah disampaikan al-Qur’an.
Poligami yang
dilakukan tidak karena darurat sosial itu seharusnya dapat dicegah. Pencegahan
poligami saat ini nampaknya sudah merupakan keharusan sejarah lantaran semakin
menguatnya kesadaran tentang kemanusiaan, yang Islam ikut meloporinya. Latar
belakang budaya dari poligami diantaranya adalah pandangan bahwa wanita itu di
bawah pria. Dalam kebudayaan yang maju maka pandangan itu sudah tidak ada.
Karena itu, meskipun ada yang memperjuangkan atau mendukung poligami, prose
munkarisasi lembaga itu tetap berlangsung. Proses ini sudah barang tentu tidak
bisa dilepaskan dari nilai yang terkandung dalam kebudayaan itu yang memandang
kekerasan terhadap perempaun tidak hanya sebatas kekerasan fisik saja, tapi
juga kekerasan psichis dan seksual. Dan saat ini orang menilai poligami sebagai
salah satu bentuk kekerasan psichis terhadap wanita (istri).
Nilai itu bukan
merupakan sesuatu yang sama sekali baru dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari
agenda penghapusan beberapa bentuk kekerasan terhadap wanita di masa Nabi yang
dapat ditemukan dalam al-Qur’an, diantaranya : membunuh bayi perempuan dengan
menguburnya hidup-hidup (QS. 81 : 8 – 9), memukul (QS. 4 : 30), menceraikan
istri setelah lanjut usia untuk selama-lamanya (QS. 58 : 2), mengusir dari rumah
(QS. 65 : 1), membuat sengsara dan menderita (QS. 65 : 6) serta mempersulit
kehidupan wanita (QS. 2 : 236).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar