Artikel

PENERAPAN SADDU AL-ZARAI' PADA KASUS INBREEDING
(Studi Hukum Islam terhadap Perkawinan Saudara Sepupu)

Oleh :
MUHAMMAD NASIHUDDIN
(Kepala KUA Kecamatan Gianyar)









Disusun Untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah
Bagi Kepala KUA/Penghulu se-Provinsi Bali
Yang Diselenggarakan Bidang Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali
Tahun 2012


ABSTRAK


Islam memberikan sarana berupa perkawinan bagi manusia untuk menggapai sebanyak-banyaknya kemashlahatan dalam kehidupan. Di dalamnya terkandung berbagai macam hikmah dan tujuan hidup yang sangat manusiawi, semisal memenuhi kebutuhan biologis dan melanjutkan keturunan. Namun banyak kasus perkawinan sedarah (inbreeding) yang akhirnya tidak mampu merealisasikan kemashlahatan tersebut disebabkan memiliki keturunan yang cacat fisik, berpenyakit genetika dan memiliki keterbelakangan mental. Oleh karenanya, karya tulis ini mengulas tentang penerapan saddu al-zarai’ pada kasus inbreeding dengan fokus pada studi hukum perkawinan saudara sepupu.
Karya tulis ini merupakan kajian pustaka (library research) dengan menggunakan metode deskriptis analitis istislahiy. Pendekatan yang dilakukan adalah perpaduan antara linguistis (bayani) dan kausasi (ta’lili). Sedangkan pola atau alur berfikir yang digunakan untuk membahas secara mendalam obyek kajian adalah penerapan teori pertingkatan norma hukum Islam.
Sebagai kesimpulan, kasus inbreeding termasuk juga perkawinan dengan saudara sepupu berpotensi menurunkan penyakit genetika yang lebih besar bila dibandingkan dengan pernikahan orang lain, terutama yang sifat penurunannya autosomal recesive. Beberapa kecenderungan kuat yang muncul akibat perkawinan tersebut adalah memiliki keturunan yang cacat fisik, berpenyakit dan keterbelakangan mental. Kecenderungan itulah yang menjadi illat hukum agar kasus tersebut dapat dicegah. Kasus inbreeding yang berpotensi kuat adanya illat tersebut dapat dihukumi haram li ghairihi, keluar dari hukum asal (pokok) yang membolehkan perkawinan sepupu.

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Tujuan umum dari pensyariatan hukum ialah mewujudkan kemashlahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri (kebutuhan pokok), pemenuhan kebutuhan umum (hajjiyat) dan kebaikan-kebaikan (tahsiniyyat). Sesuatu yang bersifat tahsini tidaklah dapat dipelihara apabila dalam pemenuhannya terdapat pelalaian terhadap sesuatu yang bersifat kebutuhan (hajiy). Dan sesuatu yang tahsini dan hajiy tidak dapat terwujud kalau belum dipenuhinya hal-hal yang bersifat dharuri.[1]
Dalam hal perkawinan, tujuan utama dari pensyariatannya adalah  untuk memperoleh kehidupan yang tenang (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).[2] Untuk mewujudkan kebutuhan pokok tersebut, manusia membutuhkan untuk melakukan reproduksi/regenerasi, memenuhi kebutuhan biologis, merealisasikan ibadah serta menjaga kehormatannya. Kesemua tujuan itu menyatu dan terpadu (integral dan induktif), diletakkan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.
Untuk merealisasikan semua kebutuhan dalam perkawinan itu, syariat mengatur hal-hal kongkret (al-ahkamu al-furu’iyyah) dalam bentuk perintah (sesuatu yang harus dilaksanakan) dan larangan (hal-hal yang harus ditinggalkan). Bentuk-bentuk perintah itu semisal pemenuhan rukun nikah serta pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri. Sedangkan realisasi dari larangan nikah adalah seperti pihak-pihak yang dilarang untuk dinikahi. Semua itu diyakini mengandung hikmah pensyari’atan demi terwujudnya kemashlahatan manusia.
Pada kenyataannya, pernikahan bukan saja masalah yang bersifat pribadi semata, tetapi juga berfungsi membentuk kemaslahatan lainnya seperti melanjutkan keturunan. Disinilah dirasakan pentingnya keberadaan anak dalam suatu lingkungan keluarga. Selain sebagai generasi penerus serta penghibur saat susah dan lelah bagi orang tua, pada hakikatnya anak adalah anugerah dan amanah dari sang pencipta. Begitu pentingnya eksistensi keturunan, sang orangtua dianjurkan untuk mempersiapkan dirinya sebaik mungkin agar menghasilkan anak yang sempurna, baik dari aspek kesehatan, kecerdasan, mental, spiritual, jiwa serta raganya.
Namun kasus yang terjadi dan muncul kepermukaan adalah terlahirnya anak yang tidak sesuai dengan harapan orangtua : lahir tidak sempurna secara fisik, cacat dan memiliki keterbelakangan mental. Mayoritas mereka terlahir dari hasil kedua orangtuanya (bapak-ibu atau suami-istri) yang notabenenya memiliki hubungan darah atau persaudaraan, seperti yang terjadi Dusun Tanah Barak Desa Seraya Timur Kabupaten Karangasem dan Desa Bengkala Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Kejadian serupa sejatinya banyak terjadi pada beberapa daerah di Indonesia, seperti Kecamatan Balong Ponorogo dengan masyarakat keterbelakangan mental dan masyarakat Kecamatan Galis Bangkalan dengan komunitas penduduk yang hilang ingatan.
Di sisi lain, al-Qur’an sebagai pedoman hukum umat Islam telah memberi pedoman yang terperinci terkait perkawinan, khususnya terkait pihak-pihak yang boleh dan yang tidak boleh dinikahi. Dalam hal ini, prilaku perkawinan inbreeding yang terjadi di masyarakat, yang mengandung potensi dan nilai ke-mafsadat-an, ‘berinteraksi’ dengan pesan-pesan tekstual yang termuat pada nash. Dialog antara scripture dan prilaku masyarakat itulah yang memunculkan gap dan bahan menarik untuk dikaji dalam bingkai sebuah upaya ijtihad yang diharapkan dapat menghasilkan istinbath hukum yang patut didiskusikan demi kemashlahatan umat yang lebih besar di masa mendatang.

B.       PERMASALAHAN
Yang menjadi pokok permasalahan dalam karya tulis ini adalah bagaimana hukum perkawinan dengan saudara sepupu bila dilakukan penerapan saddu al-zarai’ pada kasus inbreeding. Untuk mendukung pokok permasalahan tersebut, ada beberapa spesifikasi masalah yang dapat dirumuskan, yaitu :
1.    Bagaimanakah al-Qur’an menjelaskan hukum perkawinan dengan saudara sepupu ?
2.    Dampak empiris apakah yang dapat ditimbulkan oleh adanya perkawinan sedarah dalam perspektif ilmu pengetahuan ?
3.    Adakah illat hukum yang dapat merekonstruksi hukum perkawinan dengan saudara sepupu ?
4.    Bagaimanakah penerapan saddu al-zarai terhadap kasus inbreeding ?
5.    Apa hasil dari istinbath (penemuan) hukum yang dapat dirumuskan terkait penerapan saddu al-zarai’ terhadap kasus inbreeding, khususnya status hukum perkawinan dengan saudara sepupu ?

C.      MAKSUD DAN TUJUAN
Tujuan dari kajian dalam karya tulis ini adalah untuk merumuskan hukum perkawinan dengan saudara sepupu bila dilakukan penerapan saddu al-zarai’ pada kasus inbreeding. Sedang maksud dari penulisannya adalah untuk :
1.         Pengembangan diskursus hukum keluarga Islam, khususnya terkait perkawinan dengan saudara sepupu, yang berperspektif ilmu pengetahuan.
2.         Refrensi ilmiah dalam kajian berikutnya yang lebih mendalam dan spesifik.
3.         Mengikuti lomba karya tulis ilmiah bagi Kepala KUA Kecamatan/Penghulu se-Provinsi Bali Tahun 2012.

D.      METODE PENELITIAN
Karya tulis ini merupakan kajian pustaka (library research) dengan metode deskriptif analitis istislahiy terhadap obyek kajian berupa scripture agama dan prilaku masyarakat beragama[3]. Pendekatan yang dilakukan adalah taufiqi (sinkronisasi), yaitu pendekatan yang memadukan antara bayani (linguistis) dan ta’lili (kausasi). Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara : mengumpulkan seluruh nash dan data, baik yang logis maupun yang tidak logis, merumuskan asas-asas yang umum (al-ashlu al-kulliy), menyusun ijtihad berdasarkan asas-asas umum dan menetapkan sebuah istinbath hukum berdasarkan asas-asas umum.[4] Sedangkan pola berfikir yang dipergunakan penulis dalam pembahasan obyek karya tulis adalah penerapan teori pertingkatan norma pada hukum Islam yang dikembangkan oleh para ulama.

E.       DEFINISI OPERASIONAL
Untuk lebih memudahkan pemahaman dan orientasi dari kajian pada karya tulis ini, ada beberapa definisi operasional yang dapat disajikan, yaitu :
·         Penerapan berarti aplikasi, aktualisasi atau operasionalisasi sesuatu pada sesuatu yang lainnya.
·         Saddu al-Zarai’ adalah sebuah metode penetapan (istinbath) hukum dengan cara menutup celah atau jalan yang dapat membawa manusia kepada kerusakan.
·         Inbreeding adalah perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sedarah atau hubungan persaudaraan secara biologis baik melalui nasab atau melalui persusuan. Dalam karya tulis ini dibatasi hanya perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sedarah.
·         Studi Hukum berarti kajian hukum tentang sebuah obyek tertentu
·         Perkawinan Saudara Sepupu, maksudnya perkawinan yang dilakukan antara seseorang dengan saudara sepupunya (anak dari paman atau bibi)
Dengan demikian, karya tulis ini mencoba mengkaji secara kepustakaan terkait penerapan atau operasionalisasi sebuah metode istinbath hukum bernama saddu al-zarai’ pada peristiwa perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sedarah. Kasus inbreeding yang menjadi fokus kajian dalam karya tulis ini adalah hukum perkawinan dengan saudara sepupu. Sedangkan lokus kajian adalah di berbagai tempat dengan perspektif hukum Islam.


[1] Abdul Wahab Khallaf, 1978, Ilmu Ushul Fiqih, cet. ke-12, t.tp: Dar al-Qalam, hal. 197
[2] QS. Al-Rum [30] : 21
[3] Setidaknya ada lima gejala agama yang dapat dijadikan obyek kajian, yaitu pertama, scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat. Keempat, alat-alat dan kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Lihat Muhammad Atho Mudzhar, 1998, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 13-14.
[4] Al-Syatibi menyebutnya dengan maqashid al-syari’ah yang diperoleh melalui al-istiqra’ al-ma’nawiy. Begitupula dengan al-Tufi melalui teori maslaha-nya. Bahkan dalam praktik istinbath hukum, penetapannya tersebut dapat membatasi penetapan yang telah ditentukan oleh nash. Lihat Wael B. Hallaq, 2000, Sejarah Teori Hukum Islam, alih bahasa oleh E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal. 27-274.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar